Kamis, September 04, 2008

Kebangkitan Majapahit, yang Mana?

Bulan September ini, begitu menurut rencana, salah satu stasiun televisi nasional mulai memutar film serial kolosal “Laksamana Cheng Ho”. Pemirsanya diperkirakan jutaan orang. Film seri ini diyakini memikat. Pertama karena jalan ceritanya, kedua karena pemainnya mantan menteri. Yusril Ichsa Mahendra menjadi Laksamana Cheng Ho. Syaifulah Yusuf menjadi Raja Majapahit. Ditambah lagi dengan pemain “kelas atas” seperti Nurul Arifin, Slamet Rahardjo dan lain-lainnya.

Umat Islam menonton tayangan ini dalam suasana bulan Ra­madhan (puasa) dan menyusul Hari Raya Lebaran. Saya yakin se­kali, umat Hindu pasti senang pula menonton tayangan ini. Padahal, jelas sekali missi film itu sebagai film dakwah untuk kaum Muslim.

Penonton umat Hindu, kalau mereka kritis, akan tahu bagai­mana mudahnya penyebaran Islam di tanah Majapahit yang mayo­­ritas waktu itu berpenduduk Hindu. Dalam film ini digam­barkan betapa buruknya pemerintahan Majapahit, penuh intrik dan perang antar kerajaan. Lalu datanglah Laksamana Cheng Ho dengan tentaranya yang banyak, begitu mudah “mengua­sasi” Majapahit dan menyebarkan agama Islam. Cheng Ho me­mang beragama Islam meskipun dia orang China. Sampai seka­rang Masjid Cheng Ho di Surabaya menjadi tempat yang ramai di­kun­jungi orang, begitu pula peninggalan laksamana ini di ber­bagai tempat.

Para pemuka agama Hindu dan tokoh-tokoh masyarakat se­ring sekali berkata: “kebangkitan Majapahit”. Kata-kata ini sering diucap­kan jika melihat perkembangan umat Hindu membaik di ne­geri ini. Secara tidak sadar sering sekali terdengar ucapan yang begitu menyanjung Kerajaan Majapahit, sebagai sebuah kera­jaan besar yang pernah ada di Nusantara. Kerajaan yang menjadikan Hindu sebagai agama negara.
Namun Majapahit yang mana? Pada era siapa? Mungkin pada era Raja Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada. Atau mungkin sebelum itu, ketika para pujangga Hindu asyik berkarya ka­rena mereka memang dijadikan “pengabih” raja.

Setelah era itu, proses kehancuran terjadi. Para pandita Hin­du mulai terpecah. Mereka yang berada di sekitar raja hanya mem­berikan laporan ARS (asal raja senang), sementara yang di luar lingkaran kerajaan berada di gunung-gunung atau goa, tak pu­nya dana untuk memberikan akses pembelajaran kepada masya­rakat. Yang terjadi adalah pemahaman masyarakat akan filsa­fat agama berkurang, sementara beban ritual yang dihadapi mem­buat mereka semakin miskin. Pada proses selanjutnya, begitu da­tang agama baru yang menawarkan ritual lebih sederhana, rakyat pun mudah pindah agama. Apalagi rakyat sudah muak deng­­an perebutan kekuasaan yang melibatkan kerabat raja.

Yang terjadi sekarang ini pada umat Hindu di Indonesia, khu­sus­nya Bali, justru contoh Majapahit menjelang san­dhya­kala ini. Bukan Majapahit di saat keemasannya.

Lihatlah situasi di Bali. Terjadi kubu-kubu antar Sulinggih. Ka­lau kelompok Sulinggih dekat dengan pemerintah (bupati atau gu­ber­nur) maka kelompok itu saja yang didengar oleh pemerin­tah. Ritual besar di Pura Besakih, karena panitianya (Sang Yajama­na) adalah pemerintah, maka Sulinggih yang pro pemerintah sa­ja yang memberikan puja mantra. Sulinggih lain terpinggirkan, ka­re­na itu muncul istilah Sarwa Sadhaka, Sulinggih dari berbagai wangsa.

Parisada yang isinya “paruman Sulinggih” justru tidak dipa­kai. Bertahun-tahun Parisada Provinsi Bali tidak menda­patkan da­na dari Pemerintah Provinsi Bali. Padahal di daerah lain, milyar­an rupiah dana disalurkan oleh pemerintah kepada umat Hindu se­tem­pat lewat Parisada.

Jadi, di kalangan aparat pemerintah, ada rasa “suka dan tak su­ka” dengan Sulinggih tertentu. Ini membuat pembinaan kepada ma­sya­rakat Hindu menjadi lemah karena tiadanya dana. Sudah se­ring­kali ada keluhan di Bali, guru-guru Islam diangkat lebih ba­nyak dari guru Hindu. Orang Hindu diminta untuk “toleransi ting­gi” sementara itu kemiskinan kian menjadi-jadi dan perpin­dahan agama dari Hindu ke non-Hindu semakin membesar.

Lalu, Majapahit yang mana yang perlu kita jadikan sesuluh agar pas untuk menggambarkan kebangkitan Hindu, kalau me­mang orang Hindu pada bangkit? Tentu bukan masa-masa Sandhya­kalaning Majapahit. Ini justru contoh yang buruk.

Kebetulan pula mulai bulan ini (persisnya sejak 28 Agustus lalu), Bali punya gubernur baru, Made Mangku Pastika. Saya tak tahu apakah Mangku Pastika akan mengubah kebijak­sanaan­nya dalam memandang Sulinggih di Bali. Apakah Mangku Pas­tika akan tetap “menutup pintu” kepada Parisada Provinsi Bali, se­per­ti gubernur sebelumnya. Melihat latar belakang pendidikan dan pengalaman sosial Mangku Pastika, sepertinya ada perubah­an. Pertama, Mangku Pastika lama di luar Bali, tentu ia bisa melihat perma­sa­lahan Bali lebih jernih tanpa kena virus perpecahan. Kedua, sampai saat ini, secara resmi Mangku Pastika masih seba­gai anggota Sabha Walaka PHDI Pusat yang tentu harus meng­ayomi dan berpihak ke Parisada Provinsi Bali. Ketiga, tak mungkin inte­lek­tual tangguh seperti Mangku Pastika akan mengenang dan mencontoh Majapahit pada era sandhyakala. Keempat, janji Mang­ku Pastika saat kampanye adalah memberantas kemiskinan dan menumbuhkan lapangan kerja, tentu ini berarti tidak akan mem­beri kesempatan seluas-luasnya kepada pendatang untuk “men­da­patkan pekerjaan” di Bali.

Kita tak tahu, apa yang akan terjadi di Bali, apakah ada per­ubah­an atau tidak. Apakah Bali akan menjadi “majapahit kedua” di mana penduduknya akan mudah pindah agama, dan menjadikan kom­posisi penduduk Bali semakin heterogen. Atau pemeluk Hin­du masih dipertahankan sebagai mayoritas dan Bali masih menja­di pulau seribu pura?

6 komentar:

ketut sutawijaya mengatakan...

1'st. wah... pak, setahu saya karya sastra selalu dekat dengan kekuasaan. sastra seringkali digunakan untuk melegitimasi sebuah kekuasaan. sastra adalah salah satu alat pamungkas untuk membangun dan menjaga kekuasaan. karya sastra apapun itu tidak pernah hadir tanpa tendensi. saya pikir Bapak Putu Setia, jauh lebih memahami permasalahan ini.

2'nd. jangan2 fenomena peralihan hindu ke non-hindu terjadi karena secara substansi hindu tidak mampu menanggapi perkembangan jaman? bagi sebagian orang, sekaliber Bapak Putu Setia, mungkin saja mengatakan bahwa hipotesa ini salah. bahwa hindu selalu tanggap dan tangguh menghadapi perkembangan jaman. namun di sisi sebaliknya, di masyarakat awam, hindu tidak lebih dari sekedar prosesi dan ritual yang boros secara waktu, finansial, dan sanksi sosial yang begitu melelahkan. tidak ada pemahaman tentang substansi hindu sebenarnya.
jika perdebatan dibawa pada beberapa faktor di luar pertanyaan saya di atas, seperti yang bapak bilang bahwa ada faktor legitimasi agama dari para sulinggih yang dekat dengan kekuasaan, sebenarnya banyak faktor lain yang bisa digunakan. misalkan argumentasi Vleke yang berargumentasi dengan kuat bahwa perkembangan islam di nusantara juga sangat dipengaruhi oleh persaingan dengan semangat glory dari portugis pada masa itu. atau islam memang cukup tangguh dalam membaca jaman karena dia lahir pada masa manusia mulai mengenal komplesitas kehidupan sosial, ekonomi, dan politik. banyak hal sebenarnya yang bisa dibahas sebagai faktor.
tapi saya lebih tertarik dengan pertanyaan internal yang saya ajukan. jangan-jangan hindunya yang tidak siap?

i g n arya wijaya mengatakan...

"Ada dua negeri di Nusantara yang sangat sulit ditaklukkan Belanda," kata Pram di salah satu karyanya, "yaitu Aceh dan Bali." Kalimat ini membuat saya sebagai manusia keturunan Bali (dan Hindu) bangga. Namun, Aceh melakukan perlawanan terhadap Belanda dengan senjata yang dibelinya dari menjual hasil buminya. Sedangkan Bali membeli senjata dengan cara menjual budak-budaknya! Fakta terakhir ini membuat saya miris. Buktinya lagi, pada abad ke-18 dari sekitar 20000 penduduk Batavia terdapat 1300 budak asal Bali.
Vlekke dalam "Nusantara Sejarah Indonesia" mengatakan bahwa Belanda sangat tidak tertarik menaklukkan Bali karena penduduknya gemar perang.
Manusia Hindu Bali (dan juga Hindu Nusantara masa lampau) hidup dalam belenggu ritual dan mistis. Meski demikian, sebagai manusia Hind yang modern saya berterima kasih diwarisi agama yang begitu luhur dan sangat toleran. Terus terang saya merasa terasing jika pulang ke Bali karena ada banyak hal yang tidak sejalan dengan "pergulatan" spiritual saya. Tampaknya para tokoh Hindu harus merumuskan formula khusus untuk merawat generasi2 seperti saya, dan juga generasi2 selajutnya yang tak mau direpotkan dengan ritual tanpa pemaknaan yang mendewasakan......

dnd mengatakan...

Tabik....bukan hindhunya yg tidak siap, tapi manusia Bali-nya yg masih sibuk sendiri dg pergulatan dan intrik budaya;adat dg agama. kerancuan adat-agama-adat....dst. warisan negara teater (C. Gertz) dari jaman dulu. Kalo saya sadari sih, hindhunya larut, adaptif cuma dipolitisir. "Ajeg Bali" jg kesannya bertendensi mengukuhkan kasta atau existensi upper level ato pengkotakkan kepentingan(?)Jadi kita mau kemana? Beberapa sudah mepamit, beberapa lg masih bingung dan balik ke "esensi hindhu" seperti dijanjikan India, sedang saya; lahir sebagai orang Bali yg ingin tetap membudayakan Bali dg spirit Hindhu yg tidak terpolitisir adat. Bantu saya pencerahan positif karena terimbas Hindhu yang sangat akulturatif dan terlalu permisif sehingga Hindhu ini terpolitisir. Mohon......

ALVATARZ mengatakan...

hi..hi..hi..

Aku Selalu Mengatakan Bangunlah Dari Mimpi2 Manusia karena Tak Ada Kebangkitan Agama Hindu..

Aku Hanya memberitakan Kebenaran yang akan sangat bertentangan dgn Banyak Pihak, terutama Tokoh2 yang Tampak selama ini seolah2 Memperjuangkan Kebangkitan Hindu terutama pihak Raja Dukun Majapahit.....yang aku tegas menyatakan adalah Penipu Ulung....sebagai Reinkarnasi Sunan Kalijaga yang Selama Puluhan Tahun ini Memburu Si Mata Satu di Pulau jawa, Bali dan Sumatera... dimana Fakta2 tentang Keterlibatannya yang Telah Beredar di banyak media Massa bahkan Televisi Sebenarnya Sudah Menjawabnya seperti =

1. Ritual Gunung Merapi Tahun 1982 bersama Ribuan dukun dari seluruh Indonesia dan Tokoh2 agama sesat dari seluruh agama yang ada.....
Pada Tahun inilah Sepasang Eyang merapi ditangkap oleh Mereka dgn Bantuan Tripurasura , dan kini Raja Iblis Tripurasura alias Malaikat Jupri alias Lucifer, alias Arihman, alias Debata sori ditangkap pada Bulan desember 2009 di sebuah Pulau Yang disebut dlm Vedaz sebagai Shamballa ( Tempat Pertarungan Tuhan dgn Setan)

2, Tahun 1996 Ritual Ribuan Dukun Seluruh Indonesia dan Tokoh2 Agama Sesat dari Seluruh agama dgn Dalil Renovasi Batu Hobon...
Batu Hobon adalah Situs Makam Tea-Tea Bulan yang Peninggalannya masih ada di Bali Bernama Ogung Tea-Tea Bulan..
Makam Leluhur Suku Batak Pertama yang berlokasi di Pulau Samosir Sumatera Utara.
Fakta = Telah Terjadi Pencurian semua Benda2 Pusaka yang ada dlm makam tersebut.....
Kasihan leluhur orang Batak itu ditangkap oleh Tripurasura yah satu kurungan dgn sepasang eyang Merapi.
Benda Pusaka Yang di buru bernama = Pisau Solam Debata Bahasa Batak alias keris Nyi Roro Kidul..yang diperklirakan mereka sebagai Putri sulung Tea2 bulan...namun mereka tak menemukannya...

3. Tahun Berapa yah ?? 1996/1997 gitu Peristiwa Heboh Kerasukan Sabdo Palon di Bali...
Tujuan Utama = Menguasai Pura Besakih untuk Menanti Kedatangan Si Mata Satu lalu dgn Mudah Membunuhnya.
Lalu dilanjutkan dgn Pemugaran pura2 yang Tujuan sebenarnya = Mencari Keris Nyi Roro Kidul...

ALVATARZ mengatakan...

4.Bulan Agustus tahun 1998 Ritual Ribuan Tokoh Agama dan Dukun di Pantai Selatan
dengan dalil Mengusir Nyi Roro Kidul yang katanya Bukan Bunda Ratu....

5. Ritual ribuan Dukun dan tokoh2 agama sesat tahun 2005 di TMII didanai 1,5 Millyard oleh SBY Sebagai Pesta Kemenangan atas Kesuksesan mereka Menyandera Sepasang Eyang Merapi dan Para Leluhur yang Bertugas mengendalikan Keseimbangan alam itu..
Nama Ritual tsb Gondang Nyi Roro Kidul..disiarkan secara langsung di TVRI

SABDO PALON

Apakah Sabdo Palon Noyogenggong Adalah Leluhur manusia ??????? ....Tidak..karena itu tak bisa kesurupan..........
Apakah Sabdo Palon Noyogenggong adalah Ramalan ??? Tidak. ..

Tetapi Sumpah Sabdo Palon Noyogenggong (Trimuti dan Buddha)

Ketahuilah Sabdo Palon Hanyalah Penegasan Veda..........Tentang Sang Kalki dan Putri Syva.
Penegasan dari Tripitaka tentang Buddha Maitreya dan Buddha Wanita Sang Pemimpin Agung..
Penegasan dari Injil Tentang Kebangkitan Ratu Selatan dan Orang2 Niniwe.


Arti Sebenarnya Sabdo Palon.
adalah = Sabda TRIMURTI alias Sabda TUHAN........
Yang mengucapkan Sumpah/Sabda Mewakili Para Dewa dan Buddha adalah Dewa Brahma Yang dikenal di Tanah Jawa dengan Nama Semar.....dan ratusan nama lainnya di seluruh Bumi.....

Sabdo Palon dlm Bahasa Dewa-dewi disebut sebagai Trimurti yang melebur Wujud Menjadi Satu,,
Karena itulah Anak asuhnya disebut bermata Satu karena Beliau Adalah Reinkarnasi i TRIMURTI.

Karena itu jualah Dalam Bait Syair Kreshna di sebut Sang Kalki... Karena Syva ada di dalamnya..........

Ratu Adil sendiri adalah Putri Syva yang dlm Syair Kreshna dikatakan Sebagai Dewi Shinta yang terlahir Kembali.. dan disenut Gayatri (Tuhan dlm wujud Wanita)
Sesungguhnya Beliau adalah Reinkarnasi Pertama dan Terakhir dari Sang Pelindung Hindu.Nusantara Nyi Roro Kidul Ratu Pantai Selatan yang Mengenakan Mahkota Vishnu...

itulah Mengapa...semua ritual2 Ribuan Tokoh agama sesat dan dukun2 yang kuuraikan di atas semuanya Menyangkut Nyi Roro Kidul.

Siapapun, baik Manusia, setan, Para dewa dewi, Buddha dan Tuhan tak bisa menyangkal ... karena aku bukanlah aku....aku bukanlah aku...aku bukanlah aku
(neraka news, the true inside)

borju mengatakan...

Hindhu agama yang universal dan fleksibel,,,tdk ada unsur paksaan dlm agama hindhu,,,ritual adalah salah bagian dr tri kerangka dasar agama hindu,,,tattwa filsafat, etika susila, upacara atau rituil. nistaning yadnya, madyaning yadnya dan utamaning yadnya adalah tingkatan2 dlm plksanaan upacara/upakara hindu. tinggal kt sbagai manusia hindhu agar bs lebih bijaksana dlm melaksanakan yadnya itu sendiri.


Free Blog Content