Minggu, September 07, 2008

Kitab Suci dan Itihasa

Belakangan ini ada perbincangan yang mempersoalkan apakah Itihasa itu kitab suci Hindu ataukah tidak. Ada banyak kitab Itihasa, namun dua yang terkenal adalah Ramayana dan Mahabharata.

Kedua kisah ini sudah ada ribuan tahun yang lalu. Kita tak tahu sarana apa yang dipakai untuk mempublikasikan kedua kisah ini. Dalam perjalanan ribuan tahun itu wajar muncul berbagai versi, dan tak ada hak seseorang untuk mengklaim versi yang satu lebih otentik dari versi yang lain. Dengan alat apa membuktikan keotentikan itu? Lihat saja contohnya kitab Bhagawadgita yang merupakan bagian dari Mahabharata. Ada satu kelompok perguruan (sampradaya) menyebutkan, tafsir dari Mahaguru merekalah yang asli, sehingga disebut “Bagawadgita Menurut Aslinya”. Lalu, apa tafsir yang lainnya disebut “Bhagawadgita Menurut tidak Aslinya” atau “BG Menurut Kurang Asli”?

Tapi, itu soal lain. Perbincangan sekarang apakah Itihasa itu kitab suci Hindu atau bukan? Dari sudut mana kita berbicara? Apakah kita memperbincangkan secara “akademis dan intelektual” ataukah sekedar memakai “rasa”. Kalau menyebut suci dalam pengertian “rasa”, semua lontar di Bali itu disucikan, tetapi apakah lontar tergolong kitab suci?

Kitab suci dalam ulasan ini adalah kitab suci sebagai pegangan sebuah agama. Jadi, kalau kita berbicara terbuka, apalagi di media masa umum, apakah kitab suci agama Hindu itu? Jawabnya adalah Weda. Apakah Itihasa bukan kitab suci? Bukan! Apakah lontar bukan kitab suci? Bukan!

Kitab suci Hindu, sebagaimana kitab suci agama lainnya, adalah wahyu Tuhan. Dalam Hindu ini disebut Sruti. Weda adalah Sruti yang wahyunya diterima oleh tujuh resi agung. Weda terdiri dari empat (catur) yaitu Reg Weda, Yajur Weda, Sama Weda dan Atharwa Weda. Kemudian menyusul kitab Brahmana, Aranyaka dan Upanisad yang dikelompokkan ke dalam Weda sehingga disebut Catur Weda Samhita. Selanjutnya ada kitab-kitab Sutra, Dharmasastra, Itihasa, Purana dan kitab-kitab Darsana digolongkan sebagai Susastra Hindu. Ada buku baru dari Prof. Made Titib yang mengulas masalah ini secara menarik, judulnya “Itihasa Ramayana dan Mahabharata (Viracarita).”

Weda dan Susastra Hindu itu dikelompokkan dengan menarik oleh Vatsyayasa dalam bukunya Nyayasutrabhasya. Garis besarnya begini: Weda adalah pedoman umum dan acuan dalam ritual (yadnya). Itihasa dan Purana menguraikan “sejarah dunia” dan tentang umat manusia. Weda adalah sumber utama dari wahyu Tuhan, sumber segala dharma dan hukum Hindu.

Jadi, Itihasa dan Purana itu menguraikan aliran dan ajaran dalam Weda dengan kisah-kisah menarik sehingga mudah untuk diterima umat. Karena begitu sulitnya mempelajari Weda, apalagi di masa lalu sarana untuk itu terbatas, maka para Rsi membuat kisah-kisah Itihasa, tujuannya tiada lain untuk menyebarkan isi Weda itu sendiri. Di zaman emas Kerajaan Majapahit di mana Hindu berkembang bagus, dalam kitab Sarasamuccaya dimuat sloka yang terjemahannya begini: “Veda itu hendaknya dipelajari dengan sempurna melalui jalan Itihasa dan Purana sebab Weda akan takut pada orang-orang yang sedikit pengetahuannya.” Maksudnya adalah mulailah mengenal Itihasa dan Purana lebih dahulu, kemudian setelah pengetahuan menjadi bertambah, baru ke Weda. Sampai saat ini pun, meski kitab Weda sudah diterjemahkan dan dijual di toko buku, masih sulit mempelajarinya jika tidak didampingi seorang guru atau nabe.

Itihasa dan Purana memang ajaran suci, tetapi bukan kitab suci. Pertama, karena itu bukan wahyu Tuhan. Kedua, karena bentuk Itihasa adalah kisah, tentu ada kisah buruk dan kisah baik, yang buruk jangan dicontoh, yang baik dijadikan contoh. Ibarat seorang guru yang mengajar budi pekerti untuk anak usia Sekolah Dasar, pembelajaran lewat dongeng sangat dianjurkan. Weda sebagai wahyu Tuhan tentu tak memberi contoh yang buruk. Kitab suci semuanya mengajarkan dharma.

Bahaya Menyebut Itihasa Kitab Suci

Apa bahayanya menggolongkan Itihasa sebagai kitab suci? Ini akan memberi peluang kembali kepada pihak-pihak yang tidak suka dengan Hindu dengan menyebutkan Hindu sebagai agama bumi, agama buatan manusia. Perjalanan panjang Hindu di Nusantara penuh dengan “kerikil ejekan” seperti ini, karena kita tidak paham benar tentang penggolongan kitab suci itu, kita merancukan antara Kitab Suci Hindu dengan Susastra Hindu.

Kalau sekarang ini, misalnya, kita menyebutkan Mahabharata sebagai salah satu Itihasa, sebagai kitab suci Hindu, orang akan berkata kepada kita: “Lha, jadi Hindu itu agama buatan manusia dong, kan Mahabharata ditulis Maharsi Vyasa”. Maharsi Vyasa memang dikenal juga sebagai penghimpun sloka-sloka Weda, namun wahyu Tuhan itu sendiri bukan beliau yang menerimanya.

Apalagi kalau disebutkan tokoh-tokoh Mahabharata itu setingkat Dewa, ini salah sekali. Orang akan mengejek kita, pantas saja orang Hindu suka berjudi, wong Yudistira dan adik-adiknya penjudi semua. Mana ada kitab suci Weda mengajarkan orang berjudi? Judi dan hal-hal buruk itu dipaparkan dalam kisah untuk memudahkan umat mencerna, karena akan disusul dengan “karma phala”, apa akibat berjudi itu. Misalnya, terhina, terbuang ke hutan, memelihara dendam dan sebagainya. Dalam bahasa yang sederhana bisa disebutkan begini: “Hai, umat Hindu, jangan suka berjudi, lihatlah contohnya Pandawa yang kalah berjudi, bagaimana nasibnya….”

Kalau tokoh-tokoh Mahabharata bukan setingkat Dewa, lalu bagaimana dengan Krishna yang merupakan Awatara Wisnu? Krishna dalam Mahabharata adalah “pihak luar”. Beliau Sang Pencipta, Sutradara Agung Jagatraya. Mahabharata itu tokoh utamanya adalah keluarga Bharata, keluarga Kuru, yang satu darah, yang satu pihak adalah Pandawa dan pihak lain Kurawa. Krishna dipuja sebagai Awatara, dan dalam kisah ini pun semua tokoh Mahabharata yang memuja Krishna, selalu akhirnya dalam jalan dharma.

Demikian sekilas tentang pentingnya kita berbicara “yang benar” untuk menunjukkan kebesaran Hindu, bahwa Hindu adalah agama wahyu, bukan agama bumi, apalagi agama ciptaan manusia. Dalam zaman modern di mana Weda bisa didapat dengan mudah (bukunya sudah tercetak dalam bahasa Indonesia, bahasa Inggris dan Sansekertanya bisa diunduh di internet), maka hati-hati melontarkan pernyataan di media massa pada era global yang penuh persaingan ini. Kalau bicara di balai banjar tentu lain, pemangku dan sulinggih pun disebut orang suci, padahal bahasa yang benar adalah “orang yang disucikan oleh umatnya”. Jangan sampai maksud kita membela Hindu, malah kita memberi peluang orang untuk menjatuhkan Hindu.

2 komentar:

kunderemp mengatakan...

Saya pernah membaca beberapa tulisan dalam "Ramayana Revisited" yang diedit Mandakrata Bose. Salah satunya membahas mengenai betapa saat kisah Ramayana terbawa ke luar India seperti Sikkim, Thailand, dan tentu saja Indonesia, ada beberapa pencerita yang lebih menekankan pada cerita dan tidak pada pengajaran Veda.

Orang Jawa sendiri, sangat luwes dalam menafsirkan kisah-kisah tersebut dan untuk yang cukup kontemporer mungkin adalah novel pendek Manyura karya Yanusa Nugroho atau novel-novelnya Pitoyo Amrih. Dan saya tidak heran dengan lirik-lirik Iwan Fals yang dulu pernah membuat berang generasi muda Hindu di Bali. Mungkin seperti mitologi Yunani buat orang Barat.

Salam,
Kunderemp Ratnawati Hardjito
alias
Narpati Wisjnu Ari Pradana ibn
Priadi Dwi Hardjito ibn
Soeparto Hardjowidjojo ibn
Asmeroe

bliyanbelog mengatakan...

tiang juga pernah dengar dari teman Ramyana versi Thailand. berbeda dengan apa yang kita tahu. dalam versi itu Sri Rama memang ingin menginvansi Alengka tapi masih belum ada dalih yang pas. Makanya insiden penculikan Dewi Sinta itulah yang akhirnya sebagai jalan Sri Rama untuk menginvasi Alengka. Entah versi mana yang benar??

http://bliyanbelog.blogspot.com
&
http://bliyanbayem.blogspot.com


Free Blog Content