Selasa, April 28, 2009

Jusuf Kalla

Keputusan Jusuf Kalla (JK) pisah dengan Soesilo Bambang Yudhoyono membuat girang Romo Sugeng – begitulah lelaki ini saya panggil dengan akrab. Romo yang usianya sudah kepala tujuh tetapi masih berani makan tongseng kambing ini, bukan partisan partai. Ia petani, tapi lahan pertaniannya disewakan untuk perkebunan teh. Ia kerap saya temui di warung tongseng Bang Jarot yang terkenal di Desa Kemuning itu, desa terdekat sebelum menanjak menuju Candi Ceto di Gunung Lawu, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah.

“Seandainya JK masih berkoalisi dengan SBY, pertandingan tidak seru, karena yang menang sudah jelas. Ibarat Barcelona melawan Perseketos (persatuan sepakbola Kemoning – Ceto dan sekitarnya). Kan sempat muncul istilah boikot pemilihan presiden, tak mengajukan calon, bahkan ada usul supaya dikaji dasar hukum untuk jaga-jaga kalau ternyata calon presidennya tunggal, seperti di zaman Harto,” ujar penggemar bola dan penggila Lionel Messi ini



“Jadi, Romo akan memilih JK ketimbang SBY?” tanya saya asal-asalan.

“Lo, belum ke sana. Sampeyan nggak ngerti politik, sih. Posisi JK itu sekarang, baru pada mencairkan kembali semangat untuk bertanding yang tadinya sempat loyo. Dengan cerainya JK pada SBY, partai lain menaruh harapan untuk disambangi JK. Sebaliknya, JK pun bersemangat untuk mendatangi. Kalau JK berhasil membangun kekuatan, kan yang memilih jadi bersemangat karena hasilnya tidak pasti. Seni dalam memilih itu adalah jika kita tak bisa memastikan hasil akhirnya. Ketidak-pastian ini, seperti dialami para petaruh, memunculkan kegairahan.”

“Apa JK punya kekuatan, Romo?” tanya saya, masih asal-asalan.

“Dia kan pengusaha, jadi awalnya non-birokrat, lalu non-militer, kemudian non-Jawa. Non-non ini akan membuat pemilih untuk main coba-coba…”

“Romo, ini saya tak setuju, memilih pemimpin kok coba-coba, taruhannya bangsa Romo,” kata saya memotong.

“Lagi-lagi sampeyan tak tahu politik para pemilih,” kata Romo agak keras. “Sampeyan kemarin bilang, di Bali ada pelawak yang hanya cengangas-cengenges di panggung bisa meraih kursi di Senayan, mengalahkan para politikus karatan. Itu artinya, pemilih bosan dikibuli para politikus selama ini. Nah, apa bedanya dengan bangsa? Puluhan tahun dipimpin militer, berpuluh tahun dipimpin orang Jawa, berbilang tahun dipimpin birokrat tulen, hasilnya begini-begini saja. Coba pilih yang lain, jangan-jangan lebih bagus. Pergilah sampeyan ke Sulawesi, Kalimantan, Papua, Flores, pemikiran seperti ini berkembang.”

Saya diam, bukannya setuju, tetapi rikuh mendebat. Romo melanjutkan: “Kekuatan JK lainnya, ia dipojokkan dengan basa-basi khas Jawa, lalu mencuat harga dirinya. Ia sebenarnya ditolak mendampingi SBY kembali, tetapi pihak SBY berdalih: mbok sodorkan nama lebih dari satu. Ia tak diharap menghadiri rapat kabinet, tetapi dalihnya: kalau sibuk nggak usah ikut rapat. Kenapa tak berjelas-jelas saja? Dalam kasus ini, ada istilah ‘politik Inul’ yang pernah pula dinikmati SBY pada pemerintahan Mega. Pada saat seseorang dilecehkan --seperti Inul dilecehkan Rhoma Irama-- pada saat itulah simpati berhamburan datang.”

Saya merasa lebih baik diam, sehingga Romo nyerocos lagi: “Kelemahan JK, jika ia tak berhasil memimpin koalisi, lalu tetap hanya jadi orang nomor dua, maka tamatlah dia. Siapa pun orang pertamanya, kemungkinan koalisi itu menang melawan SBY sangat tipis.”

Saya ternganga, lalu permisi. Di lereng Gunung Lawu yang beraroma magis ini, sulit membedakan antara pengamat, peramal, paranormal, atau orang lagi stress.

(Diambil dari Koran Tempo 26 April 2009)

Selengkapnya

Selasa, April 21, 2009

Terburuk

Politisi yang kalah pada Pemilu 9 April, plus para tokoh yang nafsu besar berkuasa tapi tidak punya partai, berkumpul di rumah Ibu Megawati. Salah satu kesepakatannya, Pemilu 9 April lalu adalah Pemilu terburuk sepanjang era reformasi. Kesimpulan itu diiyakan juga oleh mantan wakil Presiden Hamzah Haz.

Saya sepakat soal ini. Tak ada yang perlu dibantah.


Pemilu yang lalu membuat capek banyak orang. Calon legislator capek bukan main, bahkan ada yang nekad ingin istirahat selamanya, misalnya, gantung diri. Petugas Pemilu, dari panitia pemungutan suara sampai anggota komisi pemilihan umum, pasti capek juga. Pimpinan partai lebih capek lagi, mondar-mandir menawarkan koalisi.

Saya, yang mujur tidak menjadi calon legislator, juga capek. Mata capek melihat tabulasi suara di televisi yang tak beranjak naik. Kuping capek mendengar politisi yang saling tuduh lewat radio. Jadi, saya sepakat soal capek itu.

Pemilu direkayasa untuk kemenangan partai tertentu. Daftar pemilih tetap yang amburadul disengaja untuk menggelembungkan Partai Demokrat. Karena itu Pemilu harus digugat, tidak sah, dan perlu diulang. Ini pendapat sejumlah tokoh, bahkan tokoh yang pernah saya kagumi karena sempat menyebut diri calon presiden alternatif.

Saya, dengan mengurangi rasa hormat, tidak sepakat. Saya langsung mencoret sejumlah tokoh idola dalam memori otak saya.

Menjelang Pemilu, saya banyak di Bali dan di eks Karesidenan Surakarta, kadang di Solo kadang di Karanganyar. Orang-orang yang tak terdaftar di daftar pemilih tetap atau yang tak menerima surat panggilan mencontreng, kesal benar dengan “pemerintah”. “Pemerintah” disebut memihak partai besar, yaitu Partai Banteng Gemuk dan Partai Beringin. Lo, kenapa partai itu jadi tersangka? Maklum, yang jadi Bupati adalah kader PDI P dan Golkar. Bahkan di Bali, gubernurnya ikut kampanye PDI P. Bukankah dari “pemerintah” itu sumber daftar pemilih tetap yang amburadul? Maka, kader partai biru meradang, sedang kader partai merah dan partai kuning, tenang-tenang saja.

Eh, setelah Pemilu, terjadi keajaiban. Yang memprotes daftar pemilih tetap justru sebaliknya. Artinya, protes dan tidak memprotes, hujat dan tidak menghujat, tergantung siapa yang kalah dan siapa yang menang. Partai menang sudah nasibnya jadi tersangka dan partai kalah tak perlu malu untuk jadi penuntut.

Pemilu yang buruk, memang disepakati. Tetapi, buruk rupa Pemilu jangan cermin bangsa dibelah. Sistemlah yang membuat Pemilu jadi rumit, bertele-tele, dan amat mahal. Sistem lahir karena tuntutan undang-undang. Contoh kecil, pemilih harus terdaftar. Padahal kalau mau gampang, pemilih tinggal menyodorkan kartu tanda penduduk. Bukankah dengan KTP ber-NIK (nomor induk kependudukan) yang oleh orang desa disebut “KTP Nasional” tidak memungkinkan (teorinya) ada seorang memiliki dua KTP? Kalau pun ada – maklum masih ada desa yang tak punya komputer online dan banyak orang kota yang nakal – bukankah ada “tinta Pemilu” yang mencegah orang memilih dua kali? Tinggal pengawasan.

Yang gampang itu dipersulit oleh undang-undang. Ini hanya satu contoh, banyak contoh lain. Lalu siapa yang membuat undang-undang itu? Ya, wakil rakyat yang ditentukan oleh partai. Jadi, kalau Pemilu ini buruk, yang sesungguhnya buruk itu adalah orang-orang partai di Senayan.

Mari perbaiki dari pangkalnya, jangan menuduh, apalagi memprovokasi dengan wacana Pemilu tak sah atau perlu diulang. Rakyat, yang makin pintar, siap menghukum tokoh provokator. Saya, sebagian dari rakyat itu, meski pun tak cukup pintar.



Selengkapnya

Selasa, April 07, 2009

Jiwa yang Guncang Pasca Pemilu

Departemen Kesehatan sibuk mengurusi Pemilu. Bukan menyiapkan petugas yang menangani korban kampanye terbuka, tetapi mempersiapkan perawatan bagi mereka yang kena gangguan jiwa. Semua rumah sakit jiwa di Nusantara berstatus siaga satu begitu pencontrengan selesai.

Korban Pemilu bukan lagi rakyat, tetapi para calon legislator. Jenis penyakitnya bukan luka, tetapi jiwanya terguncang. Makanya Departemen Kesehatan tak menyiapkan Puskesmas atau rumah sakit umum, melainkan rumah sakit jiwa. Dalam bahasa rakyat, korban yang masuk ke rumah sakit ini adalah mereka yang tidak waras.

Karena korbannya orang berpendidikan – sebagian besar calon legislator memamerkan gelar akademiknya meski pun ngomongnya belepotan – kamar-kamar yang disiapkan di rumah sakit jiwa tergolong baik. Bahkan di Semarang disiapkan kelas VIP. Di daerah lain, seperti Magelang, Mataram atau Bangli (Bali) cukup kamar biasa.

Awalnya saya kira langkah ini mengada-ada. Setelah mendengarkan uraian pakar ilmu kesehatan jiwa seperti Dr. Luh Suryani di Bali, saya baru percaya bahwa ini soal serius. Luh Suryani dan lembaga swadaya yang dipimpinnya bahkan sudah menyiapkan diri sebelum Departemen Kesehatan sibuk.

Inilah Pemilu yang menghasilkan “orang gila”. Yang tidak terpilih masuk rumah sakit jiwa atau jadi beban sosial di masyarakat karena ulahnya pasti menyebalkan, yang terpilih kelihatan seperti waras tetapi jiwanya terganggu. Karena yang dipikirkannya adalah bagaimana bisa duduk aman sebagai wakil rakyat selama lima tahun sembari mendapatkan proyek-proyek berduit di luar gaji resmi. Jiwanya mudah labil begitu ada yang mempersoalkan kinerjanya.

Jika kita rajin mengamati para calon legislator, entah itu melihat bagaimana mereka tampil di baliho, tampil di iklan televisi lokal mapun radio, dan lebih-lebih lagi melihat ulahnya di saat kampanye, sebenarnya sudah banyak yang “terganggu jiwanya”. Mereka tak bisa membedakan antara harapan yang bisa diperjuangkan, dan khayalan yang hanya mimpi. Umumnya mereka membeo, begitu kata “perubahan” laku, semuanya bicara perubahan. Ini mencerminkan bahwa mereka sebenarnya tak menguasai apa-apa, hanya mengumbar slogan yang mereka sendiri tak memahami arti sebenarnya. Ada yang bergaya bak pahlawan yang ditunggu-tunggu, tapi dia lupa jejak langkahnya sudah terekam buruk di masyarakat. Orang tak bisa berubah drastis dalam sekejap – atau karena ada Pemilu. Hanya penari topeng yang bisa berubah total wataknya begitu topengnya diganti.

Gangguan jiwa ini bisa jadi karena sistem dan aturan Pemilu yang berubah. Orang bebas mendirikan partai – atas nama konstitusi yang tak boleh membatasi hak orang membentuk perserikatan. Dalam kebebasan, orang-orang yang jiwanya terganggu itu, tentu tak mengenal malu. Sudah nyata partainya tak mendapat dukungan, tetap dipaksakan ikut Pemilu. Dan calon legislator yang dimunculkan pun juga labil jiwanya.
Adapun partai besar, tidak memiliki cara rekrutmen kader yang benar dan sering pimpinan partai itu bersikap “membela yang bayar” selain “membela keluarga”. Nomor urut tidak didasarkan pada kemampuan kader, tetapi pada yang “bayar” dan “keluarga”. Ketika mendadak sistem berubah dan nomor urut tidak menentukan kemenangan seorang calon, para pemegang nomor besar mendapat angin untuk menantang. “Rasakan sekarang, siapa yang didukung rakyat,” mungkin begitu sumpahnya. Calon yang bernomor urut kecil, yang jiwanya sudah goncang karena harus bayar dan melakukan “penjilatan”, tiba-tiba harus berjuang keras pula. Semuanya kemudian mencari akal bagaimana cara agar bisa mendapatkan suara melebihi yang lain, termasuk cara yang tak masuk akal (bagi orang normal) seperti menjual harta warisan. Bagaimana tidak edan kalau hasilnya gagal?

Sistem dan aturan Pemilu perlu direformasi agar mendapatkan wakil rakyat yang jiwanya tidak terganggu. Peserta Pemilu mesti dikurangi, hanya partai yang mendapatkan dukungan signifikan. Caranya mudah kalau berani, yakni bubarkan partai yang tak mendapatkan suara minimal 10 persen. Ini contoh jika kita menghendaki maksimal ada 10 partai, syukur kurang dari itu. Partai sedikit namun sehat, persaingan nomor urut calon ditentukan berdasarkan “uji kelayakan” dan betul-betul yang paling pantas menjadi wakil rakyat. Pemenang kembalikan ke nomor urut, biarkan rakyat hanya mencoblos atau mencontreng lambang partai, tak perlu repot memelototi nama calon.

Ini artinya, kita kembali ke masa lalu. Tetapi yang “kembali” hanya sistem, pelaksanaan Pemilu tentu lebih demokratis, cerdas, berkualitas, termasuk slogan lama: jujur dan adil. Masalahnya, pasti banyak elit politik yang tak setuju. Persyaratan 2,5 persen suara untuk sebuah partai “bisa selamat” saja, sudah mau digugat. Mereka berdalih: “Kita bertekad melakukan perubahan…”
Nah, makan itu perubahan.***

(Pernah dimuat di Koran Tempo, awal April 2009)


Selengkapnya

Kasta di Bali: Kesalahpahaman yang Sudah Sirna

Ketika Mayor Jenderal Polisi I Made Mangku Pastika mencalonkan diri sebagai Gubernur Bali, ada elite politik di Jakarta yang tak yakin dengan kemenangannya. Alasannya ternyata sangat aneh. Dia mengatakan, pemimpin di Bali harus dari orang yang berkasta tinggi. Kalau kastanya rendah tak akan bisa terpilih sebagai Gubernur Bali. Lantas dia menyebut nama gubernur-gubernur Bali sebelumnya, seperti Dewa Beratha, Ida Bagus Oka, Ida Bagus Mantra.
Pernyataan ini membuktikan bahwa masalah kasta di Bali masih membingungkan banyak orang dan masalah kasta masih dikait-kaitkan dengan berbagai macam pekerjaan.

Di Bali sendiri masalah kasta sudah tidak relevan lagi dibicarakan, dan boleh disebutkan sudah tidak lagi menjadi “kesalah-pahaman”. Mungkin hanya masih berlaku di pedesaan dan itu pun pada kalangan tua. Generasi muda Bali sudah lama meninggalkan kasta. Dengan demikian menjadi aneh terdengar justru di luar Bali orang masih membicarakan kasta dengan segala embel-embelnya seperti di masa lalu.
Kasta sebenarnya ada di mana-mana ketika peradaban belum begitu maju. Atau kelas-kelas sosial di masyarakat ini berusaha dilestarikan oleh golongan tertentu yang kebetulan “berkasta tinggi”. Dari sini muncul istilah-istilah yang sesungguhnya adalah versi lain dari kasta, seperti “berdarah biru”, “kaum bangsawan” dan sebagainya yang menandakan mereka tidak bisa dan tak mau disamakan dengan masyarakat biasa. Bagi mereka yang berada “di atas” entah dengan sebutan “darah biru” atau “bangsawan” umumnya mempunyai komplek pemukiman yang disebut keraton atau puri. Di masa sekarang ini, kraton atau puri tentu tak punya kuasa apa-apa, namun penghuninya berusaha untuk tetap melestarikannya. Ada pun penerimaan masyarakat berbeda-beda, ada yang mau menghormati ada yang bersikap biasa saja.
Di India kasta itu jumlahnya banyak sekali. Hampir setiap komunitas dengan kehidupan yang sama menyebut dirinya dengan kasta tertentu. Para pembuat gerabah pun membuat kasta tersendiri.
Di Bali juga unik. Ketika Bali dipenuhi dengan kerajaan-kerajaan kecil dan Belanda datang mempraktekkan politik pemecah belah, kasta dibuat dengan nama yang diambilkan dari ajaran Hindu, Catur Warna. Lama-lama orang Bali pun bingung, yang mana kasta dan yang mana ajaran Catur Warna. Kesalah-pahaman itu terus berkembang karena memang sengaja dibuat rancu oleh mereka yang terlanjur “berkasta tinggi”.
Ajaran Catur Warna dalam Hindu adalah menempatkan fungsi sosial seseorang dalam kehidupan di masyarakat. Orang boleh memilih fungsi apa saja sesuai dengan kemampuannya. Catur Warna itu terdiri dari Brahmana, yaitu seseorang yang memilih fungsi sosial sebagai rohaniawan. Kesatria, yaitu seseorang yang memilih fungsi sosial menjalankan kerajaan: raja, patih, dan staf-stafnya. Jika dipakai ukuran masa kini, mereka itu adalah kepala pemerintahan, para pegawai negeri, polisi, tentara dan sebagainya. Wesya, yaitu seseorang yang memilih fungsi sosial menggerakkan perekonomian. Dalam hal ini adalah pengusaha, pedagang dan sebagainya. Kemudian Sudra, yaitu seseorang yang memilih fungsi sosial sebagai pelayan, bekerja dengan mengandalkan tenaga.
Fungsi sosial ini bisa berubah-ubah. Pada awalnya semua akan lahir sebagai Sudra. Setelah memperoleh ilmu yang sesuai dengan minatnya, dia bisa meningkatkan diri sebagai pedagang, bekerja di pemerintahan, atau menjadi rohaniawan. Fungsi sosial ini tidak bisa diwariskan dan hanya melekat pada diri orang itu saja. Kalau orangtuanya Brahmana, anaknya bisa Sudra atau Kesatria atai Wesya. Begitu pula kalau orangtuanya Sudra, anaknya bisa saja Brahmana. Itulah ajaran Catur Warna dalam Hindu.
Yang jadi persoalan, ketika kasta diperkenalkan di Bali di masa penjajahan itu, nama-nama yang dipakai adalah nama Catur Warna: Brahmana, Kesatria, Wesya, Sudra. Jadi, pada saat itu semua fungsi Catur Warna diambil alih oleh kasta, termasuk gelarnya. Celakanya kemudian, gelar-gelar itu diwariskan turun temurun, diberikan kepada anak-anaknya tak peduli apakah anak itu menjalankan fungsi sosial yang sesuai dengan ajaran Catur Warna atau tidak. Contohnya, kalau orang tuanya bergelar Cokorde, jabatan raja untuk di daerah tertentu, anaknya kemudian otomatis diberi gelar Cokorde pada saat lahir. Kalau orangtuanya Anak Agung, juga jabatan raja untuk daerah tertentu, anaknya yang baru lahir pun disebut Anak Agung. Demikianlah bertahun-tahun, bahkan berganti abad, sehingga antara kasta dan ajaran Catur Warna ini menjadi kacau.
Kekacauan ini lama-lama menjadi kesalah-pahaman.. Misalnya, ada anggapan bahwa yang berhak menjadi rohaniawan (pendeta Hindu) hanyalah mereka yang keturunan Brahmana versi kasta, yang nama depannya biasanya Ida Bagus. Mereka yang tak punya nama depan Ida Bagus disebut bukan keturunan Brahmana, jadi tak bisa menjadi pendeta. Begitu pula kasta lainnya, yang berhak menjadi pemimpin hanya keturunan Kesatria. Orang seperti I Made Mangku Pastika yang tak punya “nama gelar” tak akan bisa menjadi pemimpin karena kastanya hanya Sudra.
Demikianlah kesalah-pahaman itu, akhirnya dikoreksi terus menerus setelah majelis agama Hindu (Parisada Hindu Dharma Indonesia) berdiri pada 1959. Jauh sebelumnya, yakni pada 1951, DPRD Bali sudah menghapus larangan perkawinan “antar-kasta” yang merugikan “Kasta” bawah seperti Sudra. Kesulitan yang dihadapi dalam menghapus Kasta di Bali itu tentu karena masalah ini sudah berlangsung berpuluh-puluh tahun, bahkan berganti abad. Namun yang menyebabkan kesalah-pahaman itu bisa dijernihkan adalah adanya toleransi dan merupakan kesepakatan yang tak perlu ditulis, yakni masyarakat akhirnya memperlakukan nama-nama depan yang dulu merupakan gelar pemberian penjajah tetap bisa dipakai sebagai nama keturunan. Tetapi tidak ada kaitan dengan fungsi sosial, juga tak ada kaitan dengan ajaran Catur Warna. Artinya, siapa pun berhak menjadi Brahmana (rohaniawan atau pendeta), tidak harus dari keluarga Ida Bagus. Siapa pun berhak menjadi pemimpin (misalnya Bupati atau Gubernur), tak harus dari yang bergelar Kesatria versi kasta masa lalu.
Era modernisasi ikut mengubur perjalanan kasta di Bali. Banyak orang yang tidak memakai nama depan yang “berbau kasta”, dan nama itu hanya dipakai untuk kaitan upacara di lingkungan keluarga saja. Apalagi nama-nama orang Bali modern sudah kebarat-baratan atau ke india-indiaan. Juga faktor pekerjaan di mana orang yang dulu disebut berkasta Sudra, misalnya, kini memegang posisi penting, sementara yang berkasta di atasnya menjadi staf. Dengan demikian hormat-menghormati sudah tidak lagi berkaitan dengan “kasta” yang feodal itu.
I Made Mangku Pastika pun bisa menjadi Gubernur Bali, yang kalau dikaitkan dengan kasta masa lalu, tergolong Sudra. Wakil Gubernur adalah Anak Agung Puspayoga, yang kalau dikaitkan dengan kasta masa lalu, tergolong Kesatria. Staf di kantor gubernuran banyak yang bernama depan Ida Bagus, yang jika dikaitkan dengan kasta masa lalu adalah Brahmana. Terbuktilah kini, bahwa kasta masa lalu itu sudah terkubur. Yang tetap berlaku adalah ajaran Catur Warna, orang diberi kebebasan untuk menjadi Brahmana, Kesatria, Wesyaa maupun Sudra, asalkan mampu.
(Artikel ini pernah dimuat di Majalah Budaya Tapian, edisi Februari 2009)


Selengkapnya

Kembali ke Sawah

Setiap bencana membawa hikmah. Datangnya malapetaka menyisakan perenungan. Persoalannya adalah apakah kita akan mau mengambil hikmah dan mau merenungi kembali perjalanan kita di masa lalu untuk dijadikan sesuluh di masa depan?

Bali diguncang bom tahun 2002. Kita diberi hikmah bahwa industri pariwisata sangat rentan dengan keamanan. Perekonomian Bali yang bersandar pada dunia pariwisata hancur. Kita sempat merenung sejenak, apakah pariwisata model Bali ini sudah benar bertumpu pada pariwisata budaya? Namun perenungan itu tidak tuntas. Corak pariwisata jauh melenceng dari akar budaya Bali. Kontribusi pelaku budaya tak dihargai oleh hasil pariwisata. Toh, pelaku pariwisata tetap berusaha memulihkan bisnis itu, dan ketika menggeliat, bom kedua meledak.



Ada pepatah yang berbunyi: “Pelanduk yang paling tolol tak akan terantuk dua kali pada batu yang sama”. Orang Bali tentu bukan pelanduk yang tolol. Karena itu, setelah dua kali bom mengguncang, sebaiknya kita merenungi, apa yang sebenarnya terjadi pada Bali?

Orang Bali setuju daerahnya menjadi tujuan wisata Indonesia dengan catatan landasannya budaya. Maka lahirlah istilah pariwisata budaya. Artinya, yang dijual kepada wisatawan yang pertama dan utama adalah budaya. Tapi apa yang terjadi? “Halaman rumah” orang Bali, tempat budaya itu lahir, digerogoti terus. Tanah sawah dijadikan hotel atau ruko, jurang-jurang dipenuhi bungalows, air untuk pengairan dialirkan ke hotel-hotel, tempat suci direkayasa sehingga tidak lagi ada vibrasi kesucian sebagaimana dahulu. Orang Bali yang semula agraris dipaksa menjalani kehidupan industri, dan pola konsumtif pun diperkenalkan dengan gencar. Hotel, restoran, travel sebagian besar punya orang luar Bali, bahkan pengelola Bandara Ngurah Rai pun tak menyisihkan penghasilannya untuk Bali.

Bersamaan dengan itu Bali pun diserang dari “tingkah menengah bawah”. Pendatang yang membawa budayanya sendiri tak bisa dibendung, dan anehnya dibiarkan oleh pemimpin-pemimpin Bali. Maka lahirlah budaya berjualan koran di lampu lalu lintas, ngamen di rumah makan dan terminal, kaki lima di trotoar dan di sepanjang jalan, pemulung ke desa-desa, kafe juga ke desa-desa lengkap dengan wanita tuna susilanya. Rumah-rumah kumuh berdiri yang bertolak belakang dari konsep Tri Hita Karana, belum lagi tempat ibadah dengan segala perlengkapannya. Pola konsumtif orang Bali pun dimanfaatkan dengan baik oleh pendatang, semua kebutuhan ritual orang Bali disuplay dari Jawa Timur, dari janur, bunga, buah sampai telur bebek.

Kalau kita mencoba merenung dengan jujur, semua ini menghancurkan budaya orang Bali. Bagaimana mempertahankan subak kalau airnya sudah dibawa ke hotel, sawah dikapling, lalu yang memanen padi orang Jawa atau Lombok yang mendirikan kemah-kemah di jalanan? Berapa ritual yang hilang, dari mendak toya di pura bedugul sampai ngadegang Dewi Sri…. Bagaimana generasi muda Bali tertarik ke balai banjar untuk belajar menabuh dan mekidung, kalau kafe berdinding bambu dengan wanita menor ada di sudut-sudut desa? Bagaimana orang mau merawat pohon juwet, sotong, duku, dan lainnya, kalau orang Bali diarahkan membeli apel Amerika dan peer dari Cina untuk yadnya ke pura? Apalagi membuat dodol dan apem, lebih praktis dodol Garut dan dodol Kudus, sementara apem diganti roti kukus. Laklak Bali sudah sulit dicari di Denpasar, ada penggantinya, kue serabi dan dawet dari Banyumas.

Kalau Bali ingin ajeg dengan budayanya yang tinggi seperti masa lalu, sarana untuk melahirkan budaya itu jangan dihancurkan. Air Bali harus tetap untuk kepentingan subak agar pertanian tetap jalan, karena dari sawah itu berbagai budaya lahir. Kalau hotel-hotel besar membutuhkan air, cari alternatif lain, entah menyuling air limbah atau menyuling air laut. Jadi modal dasar budaya itu jangan digerogoti kalau betul pariwisata Bali diarahkan ke budaya. Apa modal dasar itu? Tak lain adalah tanah dan itu artinya tanah pertanian karena budaya Bali adalah budaya agraris.

Pemerintah harus memproteksi tanah pertanian Bali. Tanah Bali tak boleh jatuh ke tangan orang non-Bali. Pemerintah harus mensubsidi pertanian, baik dalam hal pengembangan produk maupun pemasarannya. Pemerintah harus mendorong agar orang Bali bisa mandiri. Jangan biarkan orang Bali tergantung pada orang luar, apalagi untuk kebutuhan menjalankan tirualnya, karena dari situlah sumber adanya budaya Bali yang adiluhung. Tokoh agama harus ikut turun tangan, bagaimana menyadarkan orang Bali bahwa persembahan untuk Tuhan yang paling utama adalah persembahan dari hasil jerih payah yang dihasilkan tanah Bali.

Mari kita ubah pola kehidupan di Bali, kita kembali ke sawah, ke sektor pertanian. Tentu saja menjadi petani moderen yang mempertimbangkan produk unggulan. Intelektual Unud harus menjadi pelopornya, seperti yang dilakukan seorang dosen pertanian Unud yang kini mengembangkan rebung bambu tabah (tiying tabah) di kampung saya. Kembali ke dunia agraris akan melanggengkan budaya Bali. Kalau tetap budaya menjadi tema pariwisata Bali, hasil pariwisata harus dikembalikan kepada petani Bali, pelaku budaya itu sendiri. Jangan serakah semuanya diboyong ke luar Bali.

Selengkapnya

Kamis, April 02, 2009

Anekdot Selingan Pemilu

Seseorang bertanya: "Bagaimana melayani Tuhan dengan baik?"

Dan ini jawabannya: "Sebelum engkau tahu bagaimana melayani sesama manusia dan makhluk di sekitarmu dengan baik, bagaimana mungkin dapat melayani Tuhah yang Maha Kuasa?"

Untuk dilayani maka engkau harus melayani orang lain dulu, untuk dihormati maka engkau harus menghormati orang lain dulu, untuk didukung maka engkau harus mendukung orang lain dulu, untuk menjadi wakil rakyat maka engkau harus menjadi rakyat yang patuh dulu. Untuk menjadi manusia, maka kau harus memanusiakan (me-wongke - bahasa Jawa) yang lain-lain dulu.

Selengkapnya

Nyepi

Tak disangka, saya mendapat ucapan “Selamat Hari Raya Nyepi” dari teman Facebook yang berada di Kota Manado. Akhir ucapannya begini: "Saya akan mengikuti nyepi malam Minggu ini, semoga bermanfaat untuk mengurangi pemanasan global."


Nyepi di malam Minggu? Oh ya, saya ingat imbauan yang ditayangkan di televisi, masyarakat yang peduli terhadap pemanasan global diharapkan mematikan lampu pada Sabtu, 28 Maret, pukul 20.30 selama satu jam. Pasti hal ini yang disebut "nyepi" oleh teman saya. Saya pun berjanji akan mengikuti hal itu.


Apakah Anda ikut memadamkan lampu selama satu jam semalam? Atau lebih dari satu jam? Atau lupa karena masih asyik menyaksikan acara "pertengkaran" di televisi: tentang daftar pemilih tetap yang amburadul, tentang calon legislator yang berulah aneh, tentang artis yang bertekad bulat menjadi politikus? Saya tentu akan salut kepada mereka yang ikut memadamkan lampu, toh televisi bisa dihidupkan, karena "televisi bukan lampu". Lagi pula padamnya lampu tak lama, persis seperti judul lagu pop, "satu jam saja".


Tapi, sahabatku, memadamkan lampu sekejap itu tentu bukan "nyepi" sebagaimana Nyepi yang dilaksanakan oleh umat Hindu yang taat. Nyepi bagi umat Hindu bukan hanya tidak menyalakan lampu, tapi juga tidak menonton televisi, tidak mendengarkan radio, tidak mendengarkan musik, tidak bepergian, tidak bekerja. Sekali lagi, ini bagi yang taat, karena lumrah ada saja umat yang tidak taat.


Nyepi itu ritual agama yang tidak terkait dengan pemanasan global dan penghematan energi. Bahwa belakangan banyak orang mengait-ngaitkan ritual itu dengan kebersihan udara, penghematan energi, langit yang semakin biru, dan sebagainya, anggap itu sebagai efek samping yang positif.


Lalu, untuk apa Nyepi? Ini adalah awal tahun Saka untuk suatu perenungan total, apa yang telah kita kerjakan selama setahun, apa yang salah, apa yang kurang, agar di tahun yang datang semuanya bisa diperbaiki. Nyepi adalah berhenti sejenak, stop melangkah. Diperlukan keheningan selama 24 jam untuk melakukan koreksi total. Langit pun gelap tanpa bulan.


Perenungan total dan introspeksi diri, saya kira, ada dalam berbagai agama, tentu dengan variasinya sendiri. Semua orang, apakah dia politikus atau pedagang atau makelar--profesi yang kini campur-baur--ataukah dia guru yang sekaligus tukang ojek, perlu "berhenti melangkah sejenak", lihat ke belakang apa yang salah, agar tidak terantuk pada batu yang sama.


Jika semua tokoh bangsa merenung dan melakukan introspeksi, dan kemudian bertekad bulat mengabdi kepada masyarakat, kenapa harus bertengkar? Kalau tujuannya sama, menyejahterakan masyarakat dan mengentaskan masyarakat dari kemiskinan, perbedaan yang terjadi mestinya pada "dengan cara apa berbuat". Artinya, perbedaan itu bisa dimusyawarahkan. Cuma memang, untuk musyawarah, perlu silaturahmi, perlu bincang-bincang.


Sekarang situasi di Tanah Air sangat riuh, jauh dari nyepi yang intinya sepi. Padahal semua tokoh mengucapkan kata yang sama, yakni, "perubahan". Ada yang bilang: "Sambut perubahan tahun 2009, dukung kami." Yang lain berkata: "Kita perlu perubahan, bergabunglah.” Yang lainnya lagi berseru: "Kita sudah lakukan perubahan, lanjutkan." Bahkan ada yang membangun "rumah perubahan". Kata yang sama, tapi diucapkan dengan nada perlawanan terhadap pihak lain.


Coba renungkan satu jam saja--tanpa atau dengan mematikan lampu-- apakah perubahan itu selalu bagus? Yang dibutuhkan adalah "perbaikan", bukan "perubahan". Saya imbau para politikus menyepikan diri sejenak, agar tak makin menyebalkan.***
29 Maret 2009

Selengkapnya

Memenangkan Dharma

Galungan artinya kemenangan. Dungulan juga berarti kemenangan. Umat Hindu memiliki ajaran yang luhur untuk merayakan kemenangan. Menang di mana dan menang melawan apa? Apakah menang di meja judi atau di sabungan ayam? Atau di pertandingan sepakbola yang rusuh dan penuh pelanggaran? Atau menang di Pemilu yang penuh kecurangan dengan menyisakan korban rakyat-rakyat yang terkapar karena membela simbol partai?

Tidak sembarang kemenangan, tentu saja. Yang dirayakan adalah kemenangan dharma. Dharma kalau disederhanakan artinya kebenaran. Jadi, menangnya kebenaran itulah yang dirayakan oleh umat Hindu. Sepintas seperti aneh, bukankah kebenaran itu semestinya selalu menang? Kalau kita hidup di zaman Satya Yuga atau Treta Yuga, barangkali betul. Tetapi ini era Kali Yuga, zaman penuh kegelapan, yang menang itu belum tentu yang benar. Para “penentu kebenaran” sudah direcoki oleh virus-virus angkara murka, kelobaan, kedengkian, iri hati, dan sifat buruk lainnya yang bertentangan dengan dharma. Itulah sifat-sifat adharma. Wasit bisa memihak, hakim dan jaksa bisa disuap. Bahkan pada diri kita sendiri bersemayam sifat-sifat adharma. Ketika anak kita belum mendapat pelayanan yang baik di rumah sakit, kita menempeleng perawat. Ketika seorang calon legislatif merasa disaingi calon lain, ia menyuruh orang untuk membakar baliho lawan, jika perlu membawa pedang terhunus, main tebas. Adharma bercokol dalam diri kita sendiri, besar dan kecilnya bervariasi.

Nah, sifat adharma itulah yang harus kita kalahkan. Kita awali dengan niat yang suci, melakukan pembersihan diri, baik dengan tapa, japa, brata yang dalam bahasa sekarang bisa kita sebut “tekad untuk berbuat suci”. Umat Hindu di Bali menyediakan hari yang disebut Sugian Bali dan Sugian Jawa, itulah hakekat pensucian diri.

Ketika segala yang kotor itu bisa kita bersihkan, mari kita belenggu keingingan jahat (adharma) kita. Leluhur kita di Bali mengenal Hari Penyekeban dilanjutkan Hari Penyajaan (di beberapa tempat disebut Pengejukan), itulah saatnya kita membelenggu nafsu jahat kita. Pada akhirnya segala yang jahat dan kotor kita musnahkan, kita “sembelih” sifat-sifat hewani buruk yang ada pada diri kita. Itu disebut Hari Penampahan. Jika semua tahap itu bisa kita lakoni dengan baik, pada Rabu Keliwon Wuku Dungulan semuanya itu kita syukuri sebagai kemenangan dharma. Inilah Galungan yang sejatinya.

Kita selalu memaknai Galungan tanpa pernah mencari apa arti di balik simbol-simbol yang diciptakan oleh leluhur kita ini. Kita sudah letih “jalan di tempat” dan tak pernah maju-maju dari jebakan ritual. Ritual memang perlu, tetapi bukan berhenti di sana. Ribuan babi disembelih orang Bali pada saat Penampahan Galungan, ribuan penjor berdiri di pinggir jalan, ratusan pura dikunjungi dan dihaturkan sesajen saat Galungan, tetapi apakah dharma sudah menang, apakah sifat-sifat adharma sudah berkurang? Lihat di sekeliling kita, umat Hindu bertengkar soal kuburan, alam Bali diperkosa dari pantai sampai gunung, berbeda partai saling bacok. Lalu apa arti merayakan Galungan kalau adharma tak pernah berkurang?

Galungan memang tak ada dalam kitab suci Weda. Namun, merayakan kemenangan dharma melawan adharma, yang pada hakekatnya adalah ajaran untuk selalu berbuat yang “benar”, menghiasai banyak sloka-sloka suci Weda. Karena Hindu menyebar di dunia dengan memberi keleluasaan untuk menyerap budaya lokal, maka “perayaan dharma” ini berbeda bentuknya. Perayaan itu pun kemudian dicarikan simbol-simbol lokal untuk lebih membumi, sehingga masyarakat yang awam mudah untuk menghayatinya.

Di India, misalnya, kemenangan dharma itu dirayakan dua kali setahun. Di bulan April (Waisaka) dirayakan dengan sebutan Wijaya Dasami. Simbol yang diambil adalah kemenangan Dewi Parwati mengalahkan raksasa Durgha yang bersembunyi di dalam tubuh Mahasura. Hari raya ini juga disebut Durga Nawa Ratri. Kemudian di bulan Oktober (Kartika) simbol yang diambil adalah kisah kemenangan Rama atas Rahwana. Perayaan ini disebut Rama Nawa Ratri. Inti dari kedua perayaan itu sama, bersyukur dan bersukaria atas kalahnya adharma, dan dirayakan sepuluh hari.

Barangkali untuk “menyesuaikan” dengan India di mana agama Hindu lahir, leluhur kita di Bali juga merayakan kemenangan dharma dua kali setahun, meski tak persis dengan tahun Masehi, karena perhitungan yang dipakai adalah wariga, bukan sasih. Dan perayaan yang disebut Galungan ini dijatuhkan pada Rabu Kliwon Dungulan, lalu ditutup dengan Hari Raya Kuningan, yang juga berjarak 10 hari.

Umat Hindu di Jawa sebaiknya juga merayakan Galungan. Dalam Kidung Panji Amalat Rasmi dan Kidung Pararaton, disebutkan pernah ada perayaan kemenangan dharma di zaman Majapahit pada wuku Dungulan. Seperti diketahui, wariga yang ada di Bali sumbernya adalah di Jawa, semuanya sama. Masalahnya mungkin – ini perlu dikaji—leluhur kita di Bali mengkaitkan perayaan Galungan itu dengan mitos Mayadenawa. Sampai saat ini, masyarakat Bali terjebak pada mitos itu. Padahal tak ada prasasti apapun tentang Mayadenawa yang dikaitkan dengan Galungan, kecuali karya sastra yang sifatnya fiksi. Yang ada adalah prasasti yang menyebutkan, orang Bali “lama sekali” tak merayakan Galungan, dan perayaan itu baru dibuat rutin kembali sejak tahun 1126 ketika Bali diperintah Sri Jayakusunu. Dikaitkannya Galungan dengan legenda Mayadenawa membuat Galungan menjadi “bali sentris” dan barangkali ini membuat umat Hindu non-Bali kurang sreg merayakan kemenangan dharma pada saat Galungan ini.

Ke depan kita harus lebih banyak lagi menelaah ajaran Hindu berdasarkan sastra dan tatwa. Bagi umat Hindu non-Bali, kalau memang tak sreg merayakan kemenangan dharma bersama-sama orang Bali, silakan membuat perayaan sendiri pada hari yang berbeda. Seperti halnya di India, ini menunjukkan Hindu begitu universal, ibarat taman dengan beragam bunga yang indah. Adapun bagi umat Hindu di Bali, mari kita rayakan Galungan dengan mencari inti filsafahnya, membunuh sifat-sifat adharma untuk kemenangan dharma, dan mensyukuri kemenangan itu.

Suksesnya perayaan Galungan seharusnya bisa dilihat dari masyarakat yang lebih tentram dan damai, bukan banyaknya orang mabuk di balai banjar yang disulap jadi bar. Lebih-lebih Galungan di tengah-tengah masa kampanye Pemilu. Kalau ketenangan masyarakat Bali terusik menjelang dan setelah Pemilu ini, maka Galungan sudah gagal total, tak ada gunanya penjor dan sesajen itu, karena adharma yang tetap menang. Selamat Hari Raya Galungan, untuk Anda yang bisa mengalahkan adharma.***

Selengkapnya

Supaya Tuhan Punya Utang


Suatu ketika, selesai saya bersembahyang di sebuah pura, saya memasukkan dana punia di kotak yang telah disediakan. Keponakan saya bertanya: “Untuk siapa dana punia itu? Kan tidak ada orang yang menjaga kotak itu?”

Saya jawab: “Kotak itu dijaga oleh Tuhan. Uang saya pun juga untuk Tuhan, supaya Tuhan punya utang sama saya.” Entah anak ini mengerti atau tidak, ia tak lagi bertanya.

Beberapa bulan kemudian, saya bersama dia datang ke Pura Dalem Puri di Besakih saat piodalan. Di sini, banyak umat memberikan dana punia. Ada panitia yang mencatat dan kemudian diumumkan namanya. Konon ada kebanggaan nama itu disebut dan didengar oleh banyak orang. Saya juga memberikan dana punia, dan dicatat oleh panitia.

Keponakan saya seperti orang bengong karena perhatiannya tertuju pada pengeras suara. Sampai akhir pembacaan nama-nama penyumbang pada sesi itu, ia tak mendengar nama saya disebut. “Kok sumbangan Paman tidak diumumkan?” Saya jawab: “Sudah diumumkan, kan saya memakai nama asal-asalan. Orang tak perlu tahu nama saya, tapi Tuhan sudah pasti tahu. Yang penting sekarang Tuhan punya utang sama saya.”

Keponakan saya masih penasaran. “Kalau begitu, sudah berapa banyak Tuhan berutang pada Paman?” “Utang-utang Tuhan yang dulu semuanya sudah dibayar lunas, bahkan pakai bunga segala. Utang Tuhan sekarang ini, ya, sebesar yang saya puniakan tadi,” kata saya.

Karena keponakan saya diam, saya jelaskan panjang lebar. Setiap saya memberikan dana punia, ada saja karunia Tuhan yang saya dapatkan. Rejeki saya tak pernah seret dan itu selalu saya syukuri betapa pun kecilnya. Orang sering bimbang, bagaimana berdana punia kalau tak ada uang, beri dulu dong rejeki. Orang-orang semacam ini, meski pun diberi rejeki berlimpah, tetap akan pelit berdana punia. Dia bisa berkata, “gaji saya hanya sejuta, bagaimana bisa menyumbang?” Ketika bulan depannya gaji naik lima juta, dia tetap berkata: “baru lima juta, kebutuhan saya kan banyak”. Bahkan ketika dia dapat rejeki tambahan di luar gaji, tetap tidak melaksanakan dana punia, padahal ini jelas “ujian Tuhan”. Nah, kok Tuhan diajak main-main.

Saya berkali-kali menerima anugrah Tuhan yang tak pernah saya pikirkan sebelumnya. Suatu kali saya “setengah ditodong” Rp 5 juta untuk perbaikan pura. Karena “todongan” itu dilaksanakan dalam pertemuan di pura, saya terima. Di dompet ada sekitar satu juta uang. “Saya siap, uangnya minggu depan,” kata saya. Dalam perjalanan pulang, saya mampir ke tempat seorang Sulinggih. Ternyata beliau sakit, saya pun membelikan obat-obatan dulu. Pulang ke rumah, yang saya pikirkan adalah bagaimana mencari uang, apa yang akan dijual. Saya tak punya tabungan lagi, uang sudah habis untuk membeli gamelan gong kebyar. Rupanya kegelisahan saya “dipantau” Tuhan. Sampai dirumah dan membuka email, dari email dari Seiichi Okawa di Tokyo. Isinya: “Buku Menggugat Bali edisi Jepang dicetak ulang yang ketiga, royalty sudah saya transfer ke bank bapak.” Rasanya saya seperti menangis terharu, tak pernah membayangkan rejeki itu, saya sudah melupakan buku itu pernah dicetak di Jepang. Saya sembahyang dan membayangkan Tuhan sebagai sahabat saya (Tuhan bisa diposisikan sebagai apa saja), lalu saya berucap: “Hyang Widhi, Kamu kok nggak mau saya utangi.”

Konsep dana punia dalam Hindu adalah menyerahkan sebagian kekayaan yang ada untuk makhluk Tuhan. Karena makhluk ciptaan Tuhan itu banyak sekali, ada manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, biarkanlah Tuhan yang mengaturnya, kepada siapa diberikan. Tuhan tentu menciptakan “alat” di dunia ini, boleh jadi berwujud panitia piodalan, sehingga hasil dana punia dipakai untuk piodalan atau memperbaiki pura. Mungkin saja “alat” itu bernama Lembaga Panti Asuhan, Lembaga Jompo, bahkan “alat” yang diciptakan Tuhan itu bernama Badan Dharma Dana Nasional. Lembaga ini tak akan berdiri tanpa campur tangan Tuhan. Nah, dana punia disalurkan oleh “alat-alat” yang diciptakan Tuhan itu, sesuai bidangnya. Karena itu, kalau kita menyumbang uang ke Lembaga Panti Asuhan jangan berharap uang itu akan dipakai memperbaiki pura.

Apa perlu dana punia dicatat? Perlu, dalam arti sebatas untuk bahan pertanggungan-jawab panitia atau lembaga atau “alat” ciptaan Tuhan itu. Meski perlu dicatat, tidaklah harus pemberi dana punia mencatatkan namanya, apalagi dimaksudkan untuk diumumkan atau dipamer-pamerkan. Memberi dana punia bukan untuk tujuan pamer. Kalau dipublikasikan tanpa niat pamer (supaya Istri tahu kemana uangnya Bapak), bolehlah. Ada seorang tokoh (sekarang jadi calon wakil rakyat) memberi dana punia kepada Panitia Pembangunan Pura dengan mengundang televisi swasta untuk peliputan. Biaya yang dihabiskan untuk peliputan Rp 3 juta, padahal dana punia yang disumbangkan itu hanya semen yang nilainya tak lebih dari Rp 2 juta.

Kenapa saya memberikan dana punia? Karena saya merasa kaya. Lo, mobilnya bekas, bajunya murah, kok mengaku kaya? Karena ada orang yang hanya punya motor bekas, bajunya robek, jadi saya lebih kaya. Lalu, pada saat yang punya motor bekas itu memberi dana punia, meskipun hanya seribu rupiah di pura (jangan menghitung besarnya dana punia, hitunglah ketulusannya), itu pasti karena dia juga mengaku kaya. Karena ada orang yang tak punya motor, jalan kaki ke mana-mana tanpa baju.

RgWeda X 117.5 menyebutkan: “Orang yang punya kekayaan harus bermurah hati untuk memberikan sebagian kekayaannya kepada orang miskin. Dia harus melihat jalan kebajikan yang menguntungkan ini.” Ukuran “kaya” dan “miskin” hendaknya tidak dilihat dari jumlah harta. Ada orang yang hartanya berlimpah-limpah, tetapi dia selalu merasa “miskin” dan jarang memberikan dana punia. Orang ini pasti gelisah dengan kakayaanya, karena tidak tahu ada “jalan kebajikan” itu.

Bahkan orang itu tak ubahnya sebagai “mayat hidup”. Ini kalau kita percaya pada ajaran Hindu. Kitab Sarasamuscaya sloka 179 menyebutkan: Yasya pradanavandhyani dhananyayanti yanti ca, sa lohakarabhastreva evasannapi na jivati. Saya menerjemahkan sloka itu dengan puitis: “Mereka yang punya kekayaan tetapi tidak berdana punia, mereka ibarat orang mati. Hanya karena mereka masih bernapaslah yang membedakannya dengan mayat.”

Mari berdana punia sebelum kita menjadi mayat.

Selengkapnya

Kampanye

Seorang calon legislator untuk tingkat kabupaten mengadu pada saya, betapa sulitnya melakukan kampanye saat ini. Materi kampanye yang diberikan oleh pimpinan partainya, tak laku. “Padahal, semua yang saya paparkan menjadi bahan kampanye secara nasional,” katanya.

Ia memberi contoh, bagaimana partainya mengkampanyekan sembako murah. Pokoknya program kilat serba murah agar terjangkau oleh wong cilik. “Saya sebutkan, enam tahun lalu harga premium tiga ribu, sekarang empat ribu lima ratus. Harga beras dua ribu, sekarang lima ribu. Jadi lebih enak masa lalu,” katanya memberi contoh. Apa yang terjadi? “Rakyat menertawai saya. Perbandingan itu sangat konyol, kenapa tidak dibandingkan dengan dua puluh tahun yang lalu, atau dibandingkan dengan zaman Majapahit sekalian?”

Saya juga ikut tertawa mendengar contoh ini. Ada contoh lain? “Banyak sekali, semuanya garis partai. Saya katakan, jika saya terpilih akan memberikan pupuk gratis dan semua petani mendapat cangkul, anak-anak petani yang masih sekolah akan mendapatkan laptop gratis,” katanya. Apa reaksi masyarakat? “Tadinya saya kira mereka senang, malah saya diejek sebagai pembual. Mereka bertanya, dari mana saya dapat duit? Saya tak bisa menjawab karena memang tak tahu dari mana sumber duitnya.”

Calon legislator ini seperti sudah stress, padahal kampanye baru memasuki minggu pertama. Ia mengaku modalnya cekak. Modal pertama menjual sawah, satu-satunya warisan orangtuanya. Dapat uang Rp 45 juta, sebanyak Rp 30 juta untuk menyuap pimpinan partainya agar bisa mendapat nomor urut satu. Ternyata nomor urut tak menentukan dan ia mengaku rugi besar ditelikung nomor urut di bawahnya. Terpaksa ia menghabiskan sisa anggaran untuk membuat baliho. Sekarang untuk modal kampanye ia menggadaikan rumahnya, dapat Rp 25 juta. “Ya, modalnya kecil, pesaing saya modalnya ratusan juta,” katanya.

Bahan kampanye, kata dia melanjutkan, sudah diprogram dari pusat, tapi tak nyambung dengan situasi setempat. Mau apa lagi, dia sendiri tak tahu bagaimana menyusun bahan kampanye. “Pernah saya lemparkan ke masyarakat soal gaji. Kalau saya terpilih, 70 persen gaji saya akan disumbangkan untuk orang miskin di pedesaan. Janji ini bukan saja menunai ejekan, malah saya nyaris diusir. Saya diteriaki: calon koruptor, calon penerima suap. Duh, sedihnya,” katanya nelangsa.

Saya bertanya, apa janji menyumbangkan gaji itu pernah disepakati oleh calon wakil rakyat? Dia membenarkan. Gaji wakil rakyat nanti, 30 persen untuk iuran partai, selebihnya disumbangkan saja, tak apa-apa. Toh akan ada uang tambahan di luar gaji resmi, misalnya, uang reses, uang sidang, uang dengar pendapat, uang studi banding, uang dari mitra kerja di eksekutif, uang dari badan usaha milik Negara, dan uang dari kontraktor yang proyeknya dibahas di legislatif. “Ini katanya soal biasa, kalau di pusat bisa mendapat milyaran, di provinsi dalam ratusan juta, di kabupaten paling apes lima puluh juta sebulan, belum lagi kalau mensahkan undang-undang atau peraturan daerah,” katanya. “Ini yang membuat saya tertarik mengadu nasib untuk menjadi calon legislator.”

Saya tak bisa memberi saran. Dia bilang: “Bagaimana kalau saya tak usah kampanye terbuka? Lebih baik membuat baliho lagi dengan kata-kata seperti yang sudah digariskan partai: mohon doa dan dukungan, siap berjuang untuk rakyat, tempat rakyat mengadu….”

Saya memotong: “Apa rakyat percaya? Anda sendiri justru mengadu ke saya…” Dia kaget, lalu katanya lirih: “Yang penting kan tidak diejek di depan umum.”

Selengkapnya

Mencontreng

Ada kursus mencontreng di kampung saya. Penyelenggaranya calon legislator. Komisi Pemilihan Umum sama sekali tak terlibat dengan urusan ini. Justru kursus ini diadakan setelah Komisi membuat sosialisasi yang hasilnya: 70 persen suara tidak sah.

Peserta kursus lebih banyak ibu-ibu, usianya sekitar 50-an ke atas. Mereka umumnya tak begitu lancar membaca dan menulis. Ketika sosialisasi diselenggarakan, mereka kebingungan. Padahal kertas suara hanya berisi lima partai, tapi ukurannya sama besar dengan yang dipakai Pemilu nanti.

Membuka dan melipat surat suara yang sebesar Koran itu saja sudah bikin pusing karena bilik pencontrengan kurang luas. Ada yang sampai bersimpuh, ada yang menempelkan dulu ke dinding. Jika lipatan kurang bagus, tak bisa masuk ke kotak suara, lubang kotak kekecilan. Kalau dipaksakan, surat suara robek, jadi tak sah.

KPU mendapat masukan bagaimana ukuran ideal bilik suara, termasuk lebar lubang kotak suara. Namun, Komisi merasa tak perlu bertanggungjawab jika masih terjadi salah contreng. Alasannya, masyarakat sudah tahu.

Tahu apa yang dicontreng, namun tak tahu “teknik” mencontreng. Orang kampung itu asing dengan pulpen dan alat tulis sejenis. Untuk memegang saja perlu latihan berkali-kali. “Saya sehari-hari pegang pisau, sekarang pegang pulpen, ya, tak bisa,” kata seseorang. Pemilu sebelumnya sangat gampang karena mencoblos, bagaimana pun cara memegang paku pencoblos, yang penting kan ada lubangnya. Sekarang, kalau memegang pulpen tidak benar, contrengan jadi tak pas dan kebanyakan melewati garis pemisah nomor. Ini tak sah, karena contrengan mengenai dua nama caleg.

“Kenapa tak mencontreng gambar partai saja, kan lebih mudah, karena ruangnya lebih besar,” tanya saya kepada penyelenggara kursus. Jawabnya: “Saya bisa rugi, itu kan suara mengambang, ini tarung bebas, saya harus mengumpulkan suara sebanyak-banyaknya.”

Saya jadi maklum, kalau dari tiga “kursus mencontreng” itu, dua penyelenggara dari partai yang sama tapi caleg berbeda. Satu untuk nomor 4, satu lagi nomor 7. Peserta memang sudah diarahkan untuk mencontreng nomor urut itu. Mereka juga dibekali kartu sebesar kartu nama, yang mengingatkan kolom partai dan nomor yang dicontreng. Ketika latihan, ibu-ibu desa itu asyik menghafal angka yang akan dicontreng.

Kenapa sih ibu-ibu? Konon, pemilih muda tak mudah “dipegang”. Mereka kesannya “anti Pemilu”. Baliho caleg dicorat-coret, wajah manis perempuan diberi kumis dan cambang, wajah-wajah ganteng ditulisi kata: gombal, penipu, pemeras. Mereka mengaku akan golput, terpengaruh media massa yang menyoroti betapa buruknya perilaku anggota dewan. Sedangkan mereka yang lebih dewasa dan keluarga mapan mengaku, lebih baik sembahyang ke Pura Besakih daripada mencontreng. Maklum, 9 April nanti adalah puncak upacara Panca Wali Krama, ritual sepuluhtahunan.

Kursus ini ada daya tariknya. Selama tiga hari kursus, mereka dapat sebungkus kue dan sebungkus nasi. Lalu, ada janji, jika saat Pemilu nanti pelajaran di “kursus” itu benar, mereka dapat “upah” Rp 50 ribu. Variasi upah berbeda di setiap tempat kursus, Rp 50 ribu itu angka terendah.

Saya semakin yakin, Pemilu nanti adalah pemilu yang paling rumit di dunia: sistem yang cerdas untuk masyarakat yang bodoh. Partai politik yang terbesar di Bali (contoh yang hampir nyata) tetap akan mendapat urutan ketiga, karena pemenang pertama adalah suara tak sah, pemenang kedua golput. Tolonglah ada yang begerak, supaya keyakinan saya tak terbukti, mumpung masih ada waktu.

Selengkapnya

Free Blog Content