Minggu, September 28, 2008

Cobaan


Ketika Mohammad Iqbal, anggota Komisi Pengawas Persaingan Usaha, ditangkap karena diduga menerima suap, semua rekannya menganggap hal ini musibah. Dengan wajah sedih, ketua komisi itu, Syamsul Maarif, menyatakan lembaga yang dipimpinnya mengalami cobaan. Sudah delapan tahun komisi ini dibangun dengan mempertahankan integritas, dan bahkan sudah seringkali menolak “amplop”, toh jebol juga.

Iqbal sendiri, konon, seorang aktifis yang sederhana. Tokoh koperasi yang berjuang dari bawah, membangun karier dengan mempertahankan kejujuran dan nama baik. Ia, begitu media massa memberitakannya, sudah seringkali disambangi Billy Sindoro, tetapi menolak. Pas saat ia meladeni pertemuan itulah, cobaan datang.

Manusia hidup di tengah rimba yang penuh duri cobaan. Cobaan itu pun kemudian diyakini sebagai “skenario” yang sudah ditentukan dari “atas”. Tapi apa semua itu “cobaan dari atas” dan apa tidak “cobaan yang dicari”, sulit untuk diurai.

Dua lelaki di Indramayu tewas setelah menenggak minuman keras. Menurut berita gossip yang beredar di warung pangkalan truck di jalur utara itu, dua lelaki ini betul-betul ingin mencoba, seperti apa minuman keras yang sebelumnya sudah membunuh beberapa orang. Artinya, keduanya menenggak dengan sadar minuman oplosan itu, dan memang “berkhasiat”: keduanya tewas. Siapa yang harus disalahkan? Tak ada, keluarganya sudah ikhlas, ini sudah cobaan.

Seharusnya, semakin tinggi wawasan seseorang, semakin mudah membedakan yang mana “cobaan” dan yang mana “dicoba-coba”. Sudah berulangkali kasus suap bisa dijebak, namun masih ada juga orang yang mau coba-coba. Bahkan yang terjebak itu orang yang tahu hukum. Ingat bagaimana Mulyana W. Kusumah yang kriminolog itu ditangkap basah karena menyuap anggota Badan Pemeriksa Keuangan. Lalu bagaimana Jaksa Urip tertangkap selesai menerima uang suap. Juga Al AminNur Nasution, anggota parlemen, yang ditangkap setelah menerima suap dari seorang sekretaris daerah. Mungkin iklan obat di televisi perlu dibaca begini: “Untuk suap, jangan coba-coba”.

Celakanya, efek jera dari kasus-kasus ini belum muncul. Orang masih mempertanyakan: Ah, paling KPK hanya mampu bekerja di Jakarta. Ditangkap jaksa atau polisi? Ah, paling bisa diajak “damai”, berapa sih gaji mereka itu? Maka suap, korupsi, dan sejenisnya masih akan subur dalam beberapa tahun ke belakang ini, karena banyak orang yang masih mau coba-coba. Masih banyak orang yang selalu merasa kekurangan. Jaksa mengeluh karena gajinya sepersepuluh anggota Komisi Pemberantasan Korupsi. Polisi mengeluh karena gajinya akan lebih rendah dari gaji guru -- kelak kalau janji pemerintah ditepati. Gaji anggota Komisi Pengawas Persaingan hanya Rp 12,5 juta, perkara yang ditangani bernilai trilyunan rupiah.

Mungkin saja Billy Sindoro tak bermaksud menyuap Iqbal, ia hanya memberi “tanda terima kasih”, memberi tunjangan lebaran. Setengah milyar, apalah artinya. Juga bagi Haji Syaichon di Pasuruan, sedekah Rp 30 ribu per orang untuk ribuan manusia, tak akan membuatnya miskin. Ini zakat, pahalanya besar. Namun, bagi rakyat kere, uang Rp 30 ribu harus dijemput dengan mempertaruhkan nyawa. Dan ketika nyawa yang melayang 21 jumlahnya hanya karena uang Rp 30 ribu, inilah cobaan yang sesungguhnya cobaan, bagi semua orang. Pemimpin bangsa ini, termasuk anggota komisi apapun, seharusnya peka, ada sesuatu yang serius di masyarakat bawah. Jangan coba-coba “buta dan tuli”, berhentilah memamerkan gaya hidup materialistis, belajarlah bersyukur dengan apa yang ada.
(Diambil dari Koran Tempo edisi 21 September 2008)

Tidak ada komentar:


Free Blog Content