Senin, Agustus 25, 2008

Caleg

Saya punya sahabat orang Aceh. Tapi ini “sahabat internet”, mungkin istilah ini tak cocok. Saya ingin menggambarkan bahwa persahabatan itu sangat kental tetapi kami tak pernah jumpa. Di masa lalu perkawanan ini disebut “sahabat pena”.
Awalnya dia minta dipanggil Dek Gam, sebutan untuk anak lelaki. Kemudian, panggilan itu berubah ketika kami berdiskusi soal Gerakan Aceh Merdeka yang akronimnya GAM. “Ganti saja panggilan saya jadi cilek karena perawakan saya kecil,” katanya. Cilek di Aceh, ya, sama dengan cilik di Jawa.
Namun, dia memanggil saya bapak, padahal saya siapkan pilihan abang, mas, atau bli. Yang terakhir ini khas Bali. Alasannya, nah, ini yang membuat bulu hidung saya berdiri saking bangganya, dia kagum dengan tulisan saya, baik di koran, di blog, maupun di beberapa buku. Ini sesungguhnya tak enak untuk disebutkan, tapi karena saat ini musim kampanye di mana kesombongan diumbar, tak apalah.

Dialog kami yang paling menarik tentu saja masalah sosial dan agama. Latar belakang budaya dan agama yang berbeda, membuat kami makin intim “bagaikan saudara kandung” (istilah saya) atau “bapak jadi orangtua kedua saya” (istilah dia). “Seharusnya orang seperti bapak yang dipinang menjadi calon legislatif oleh partai, bukan artis,” tulisnya suatu ketika, yang membuat saya kaget, kenapa urusan agama tiba-tiba dibawa ke calon legislatif.

Dia mengaku muak dengan ulah para politisi sekarang ini. Apalagi entah sadar atau tidak, istilah agama dipakai untuk urusan korupsi. Misalnya, “korupsi berjamaah”. Ketika Agus Condro menerima duit Rp 500 juta, disebutkan pembagian itu untuk “kloter” pertama. “Kata kloter tak ada dalam kamus, itu kan asalnya dari kelompok terbang, istilah untuk angkutan haji, urusan agama, kok dibawa-bawa ke uang haram?” Cilek marah betul.

“Itu sebabnya saya mohon para ulama, pendeta, apa pun sebutannya lagi, jadilah calon legislatif. Keluarlah sejenak dari pesantren, pesraman, pedukuhan, atau apa pun sebutannya, tolong urus negeri ini. Kenapa harus artis?”

“Jangan sepelekan artis. Saya kenal Miing, saya tahu Tantowi dan Helmy Yahya,” saya mencoba membela. Tapi, cilek, sahabat Aceh ini, tetap ngotot: “Ya, tapi pondasi moral mereka tetap tak kokoh, bangsa ini sudah mengalami kehancuran moral, hanya ulama sejati yang bisa membenahinya.”

Siapa itu ulama sejati? “Pemuka agama yang menebarkan kedamaian. Pemuka agama yang membawa kesejukan dan ketentraman. Pemuka agama yang bisa berdebat sambil tersenyum,” jawabnya.

Nah, di sini persoalannya. Kebanyakan dari mereka itu tidak dikenal secara nasional. Mereka umumnya tokoh lokal karena memang pengabdian mereka itu nyata di masyarakat. “Itu betul Pak, seperti halnya bapak, saya sudah tanya ke teman-teman, apa pernah dengar nama bapak?. Jawabnya, tidak. Yang sering didengar Putu Wijaya. Tapi, bukankah itu harusnya tugas partai yang mengangkat tokoh lokal ke nasional?

Saya menjawab emailnya dengan tertawa, seolah wajahnya ada di komputer. “Di situ persoalannya, meski saya bukan tokoh agama, saya tahu persis pemuka agama tak suka bergaya selebritis, apalagi berulah artis. Mereka pun bukan kader partai.”

Komunikasi kami macet beberapa saat sampai dia menulis lagi: “Pokoknya saya tetap percaya, kini giliran tokoh agama yang harus memperbaiki negeri ini, tapi bagaimana caranya, ya?” Saya belum membalasnya, karena saya juga tak tahu bagaimana caranya. Apa, ya, ada pemuka agama yang mau mengiklankan dirinya untuk kekuasaan, apalagi hanya untuk direkrut menjadi calon legislatif?
(Tulisan ini diambil dari Koran Tempo edisi Minggu 24 Agustus 2008)

Selengkapnya

Partai

Ketika menonton Muhaimin Iskandar berebutan mengambil nomor urut partai dengan Yenny Wahid, istri saya kembali kambuh kesalnya gara-gara partai yang ia dirikan tidak lolos dalam verifikasi Komisi Pemilihan Umum.

“Padahal partai itu akan menjadi partai besar. Namanya saja Partai Besar, tentu aneh kalau tetap kecil. Nama partai itu sudah ibu pikirkan matang-matang dan masyarakat pasti akan mendukungnya. Sekarang ini di mana-mana orang berteriak Tuhan Maha Besar, itu artinya harus diayomi oleh Partai Besar. Wong cilik pasti ingin menjadi besar, dan orang-orang besar tak akan mau menjadi orang kecil. Nah, partai ibu akan didukungnya,” kata istri saya nyerocos. “Belum lagi masalah-masalah kecil yang ada di negeri ini selalu dibesar-besarkan, bukankah itu pertanda partai ibu akan laku?”

Saya sudah capek menasehati kalau istri saya itu sebenarnya lagi sakit. Ya, seperti orang-orang besar yang mendirikan partai itu, sejatinya mereka itu “orang sakit”. Mereka harusnya istrirahat setelah menjadi kaya dari sebuah rezim. Mendirikan partai kentara sekali hanya untuk memuaskan nafsu berkuasa, bukan itikad luhur untuk melayani masyarakat. Uang dihambur-hamburkan untuk itu, padahal begitu banyak orang papa di sekitar kita.

“Bersyukurlah Bu, Partai Besar tidak lolos. Sudah ada 34 partai yang lolos, dan itu terlalu banyak. Rakyat sudah antipati pada partai. Mendengar partai yang dibayangkan anggota dewan, lalu mendengar sejumlah kata: korupsi, suap, main perempuan. Citra partai sudah hancur,” kata saya menenangkan.

“Partai-partai baru sulit laku,” kata saya lagi. “Masyarakat telah terpola dengan tiga partai, PDI mewakili kaum nasionalis, Golkar mewakili kekaryaan dan PPP mewakili Islam. Ini karena sejarah yang panjang. Kalau ditambah dua lagi, yaitu PKS dan Partai Demokrat, ya, semestinya sudah cukup lima partai. Partai baru seperti Hanura, Gerinda, dan lainnya, itu kan Golkar dalam bentuk lain. Partai Pelopor, PNI Marhaenis, Banteng Kemerdekaan, dan sejenisnya, itu kan dianggap sempalannya PDI. Begitu pula partai yang berbasis Islam, ada banyak karena sempal-menyempal. Kalau induknya masih ada kenapa harus bergabung ke sempalannya? Coba saja lihat nanti, partai-partai baru itu hanya dapat suara nol koma nol nol persen.”

“Tapi kan tetap dapat suara,” potong istri saya. “Waktu pemilihan Gubernur Bali ada kandidat yang mengumpulkan partai yang perolehan suaranya nol koma nol persen itu, partai kecil dapat uang lumayan karena menjadi penggenap agar jumlah suaranya 15 persen.”

“Itu memalukan. Mestinya partai dengan suara minimum langsung dibubarkan dan pengurusnya tak boleh mendirikan partai apapun lagi. Unsur malu harus jadi etika politik. Negeri ini amburadul kalau rasa malu sudah hilang,” saya memotong. Namun saya sudah tak sabar. “Ya sudah, tapi Ibu jangan menyalahkan KPU. Mungkin anak kita di Jakarta yang terlambat mendaftarkan …” saya mencoba lagi menenangkan.

Istri saya langsung menelepon anaknya. “Komang, apa betul Partai Besar yang ibu dirikan sudah didaftarkan ke KPU? Kok tidak lolos? Kan semua keluarga Ibu di Kalimantan, Sulawesi, Sumatra dan Jawa sepakat membentuk cabang?”

Terdengar suara di handphone. “Lo, lo, ibu mendirikan partai politik?”

“Ya, dong, Partai Besar itu partai politik…”

“Waduh, maaf Bu, saya mendaftarkannya ke Departemen Perdagangan, bukan ke KPU.
Saya pikir Ibu mendirikan toko kelontong, kan toko kelontong di Jakarta umumnya berisi tulisan: menjual eceran, grosir, partai besar dan partai kecil….”

(Tulisan ini diambil dari Koran Tempo)

Selengkapnya

Sabtu, Agustus 23, 2008

Alternatif

Seorang mantan aktifis kampus mengeluh. Ia heran, begitu banyaknya partai politik, sampai kini, tak satu pun partai yang meminta dia untuk menjadi calon anggota legislatif. Padahal ia sudah mau dicalonkan di mana saja, apakah itu untuk kabupaten, di tingkat provinsi, apalagi di pusat. Dia bertanya: “Apa salah saya?”

Saya menjawab dengan serius, karena keluhannya memang serius. “Ada lima kesalahanmu,” kata saya.

Pertama, kamu lelaki. Coba kalau lahir perempuan, bisa mendapatkan tawaran. Partai-partai politik sedang mencari calon legislatif perempuan untuk memenuhi kouta 30 persen. Kalau kouta itu tak dipenuhi, daftar calon akan dikembalikan Komisi Pemilihan Umum. Begitulah enaknya perempuan Indonesia saat ini. Meski begitu, tetap saja sulit mencari perempuan yang mau dicadikan calon di daerah karena mereka tahu akan dikibuli. Hanya sebatas calon, hanya penggenap kuota, bukan untuk disiapkan menjadi wakil rakyat.

Kesalahan kedua, orangtuamu bukan pemilik partai. Puan Maharani, anak Megawati, langsung bisa jadi calon dengan nomor urut satu. Edi Baskoro, anak Susilo Bambang Yudhoyono, juga begitu. Pemimpin partai di daerah akhirnya mengikuti apa yang terjadi di pusat: anak, istri, mantu, besan dicalonkan. Apakah ini nepotisme tentu jawabannya sudah tersedia: mereka kader partai, hak setiap orang untuk dicalonkan jangan dihambat.

Kesalahan ketiga, kamu tidak mendeklarasikan dirimu alias tidak meminta, tapi menunggu tawaran. Ini bukan zamannya lagi. Kamu salah memahami ajaran Soeharto di masa lalu. Soeharto dan para tokoh di era itu selalu berkata tidak mengejar jabatan, tidak punya ambisi menjabat, jabatan adalah amanah dan seterusnya. Lalu ada kata penutup: “Kalau rakyat menghendaki, saya tak berani menolaknya”. Kenyataannya, suara rakyat direkayasa oleh para pembantunya, ah, ini cerita lama. Sekarang, siasat itu sudah jadi gombal. Yang laku saat ini adalah deklarasikan dirimu bahwa kamu mampu menjadi pemimpin alternatif dan sanggup mensejahtrakan masyarakat, meski pun sama gombalnya. Buat iklan di televisi, buat baliho, sebarkan pamflet, sebutkan hanya kamu yang bisa mengatasi keadaan yang terpuruk ini.

Cuma, kamu harus mencari orang yang pinter menyusun kata-kata slogan. Cari juga pemantau yang suka keluyuran ke daerah-daerah, tempat rakyat yang akan memberikan suara itu bermukim. Ini penting, karena rakyat sudah kritis, agar iklanmu tidak ditertawakan. Misalnya, iklanmu berbunyi: “Saya, Sutowo, Ketua Himpunan Peternak Bebek se Indonesia…” Apa memang kamu pernah memelihara bebek? Rakyat yang mengikuti kiprahmu, akan tertawa nyengir.

Juga, jangan membuat iklan terlalu puitis, rakyat bingung apa maunya, dan akhirnya mencari-cari kata yang akan dijadikan tertawaan. Misalnya, “kalau masyarakat mengizinkan, saya akan membawa harapan….” Kamu tahu kan, setiap iklan itu muncul, orang mengejek di depan layar kaca: “Memangnya siapa yang akan kasi izin?”

Hindari polemik soal usia. Megawati, Wiranto, Sutiyoso, Abdurahman Wahid, Amien Rais, Sultan, dan sederet tokoh lain, masih lebih muda dibandingkan ketika Ronald Reagan terpilih menjadi presiden Amerika. Lebih baik kamu sebutkan bahwa bapak dan ibu itu sudah diberi kesempatan oleh rakyat memimpin dan ternyata tidak berhasil. Kalau kamu lebih berani, sebut saja mereka gagal. Jadi memang perlu pemimpin alternatif.

“Wah, saya tak sejauh itu berpikir,” kata anak muda ini. Saya langsung memotong: “Itu kesalahanmu nomor empat: penakut. Dan nomor limanya bermodal dengkul.”

Selengkapnya

Tokoh Muda oleh Putu Setia

Sebuah karikatur di “tabloid istana” menyindir Wiranto dan Megawati sebagai kakek dan nenek. Imajinasi yang mau digiring adalah mereka itu sudah tua. Dalam bahasa anak muda, “Kalian sudah uzur, istirahat sajalah, jangan ngurus macam-macam.”

Pramono Anung, tokoh setia di samping Megawati, protes keras. Pengelola tabloid yang menyuarakan kubu Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono ini, cepat minta maaf. Jadi, tidak sampai menjadi bola salju yang bisa ditendang ke mana-mana.

Zaman sudah berubah. Di masa lalu, partai besar punya koran. Andaikata era ini semua partai besar punya koran (yang pasti tidak akan laku secara bisnis), Pramono tak perlu protes. Kubu Megawati akan membalas karikatur itu dengan menggambarkan Susilo Bambang Yudhoyono juga seorang kakek, bahkan mungkin dengan dramatisasi, kakek yang ragu berjalan sehingga langkahnya tersendat, kakek yang ber-poco-poco.

Untunglah ini tak terjadi dan orang sudah melupakan karikatur kakek dan nenek itu. Namun, yang tak boleh dilupakan, sejatinya semua tokoh itu sudah berstatus kakek dan nenek. Katakanlah dengan istilah keren, “kakek bangsa” dan “nenek bangsa”. Sederet nama bisa ditambahkan di jajaran ini, misalnya, Amien Rais, Abdurrahman Wahid, Hamzah Haz, dan banyak lagi.

Kalau mereka tidak mau istirahat, rakyat yang mengistirahatkannya dengan segala hormat. Pemilihan Kepala Daerah di Jawa Barat, menjadi contoh paling akhir. Kurang apa lagi pengalaman “kakek” kita yang satu ini, Agum Gumelar. Pernah menjadi Menteri dengan gonta-ganti pos, pernah memimpin organisasi sepakbola, olahraga yang paling memasyarakat. Pernah menjadi calon Wakil Presiden. Semua dicatat rakyat. Lalu, Kakek Agum didukung partai besar, partai banteng gemuk bermoncong putih. Tapi, rakyat membutuhkan orang muda yang “darahnya” segar, yang belum banyak dimasuki “virus”. Pilihan pada pasangan Ahmad Heryawan-Dede Jusuf.

Siapa Dede? Ah, hanya aktor film, bintang iklan obat sakit kepala. Siapa Agum? Wow, tentara pilihan, ketua alumni Lemhanas, mantan menteri ini dan menteri itu. Rano Karno, kini wakil bupati Tangerang, juga hanya aktor film. Rakyat memilih Dede dan Rano, pertama-tama karena ia anak muda, dan kedua karena rakyat mengharapkan muncul tokoh segar di dunia birokrasi.

Rakyat sekarang ini cerdasnya bukan main. Selain itu (maaf sekali para rakyat) juga licik. Dikatakan cerdas karena tahu, memilih bupati, gubernur dan presiden tak ada kaitan dengan memilih partai. Partai boleh mengusung siapa saja, kalau rakyat tak suka figur itu, ya, tak dicoblos. Licik? Tentu. Baju kaos calon gubernur diterima, uang kampanye diambil, bantuan diminta. Pas pencoblosan, semua barang dan uang itu dilupakan. Pada pemilihan Bupati Gianyar, Bali, tempo hari, saya terkesima dengan pilihan rakyat. Siapa menduga di kandang banteng, di tempat ribuan orang mengelukan Megawati saat kampanye, calon dari partai banteng malah kalah. Ya, karena rakyat butuh pemimpin yang segar.

Lalu, kenapa Rano dan Dede? Karena anak muda yang ada di jajaran partai (sebut misalnya Pramono Anung, Anas Urbaningrum, Soetrisno Bachir) masih dikeloni kakek dan nenek partai. Tokoh muda partai tak ada yang berani bilang “tidak” pada kakek dan neneknya. Lihat saja, simpati datang pada Muhaimin Iskandar justru saat ia berani melawan. Kalau anak-anak muda di partai tak bisa melepaskan belenggu ini, ya, apa boleh buat, dunia artis masih banyak stok, ada Tantowi Yahya, ada Garin Nugroho dan sederet lagi yang punya otak dan integritas. ***
(Tulisan ini diambil dari Koran Tempo)

Selengkapnya

Free Blog Content