Kamis, September 04, 2008

Tanggapan Saya Untuk Film Drupadi

Om Swastyastu
Salam,

Saya sudah membaca press release WHYO mengenai film Drupadi dan saya ingin memberi tanggapan yang panjang terhadap press release tersebut untuk memperjelas masalahnya. Tanggapan ini boleh diabaikan atau mau didiskusikan lagi dengan saya, silakan saja, hanya perlu kesabaran jika saya tak cepat menanggapi, semata-mata karena kesibukan melayani umat.

1. Saya ucapkan terimakasih atas perhatian WHYO yang memberi masukan terhadap film Drupadi, yang diangkat dari kisah klasik Mahabharata. Sebagai seorang budayawan dan rohaniawan Hindu, saya setuju menyebut Mahabharata sebagai karya klasik karena ini adalah karya yang sudah ribuan tahun ada dan selalu menjadi bahan inspirasi bagi banyak orang. Puluhan film dan ratusan pertunjukan seni dengan berbagai tafsirnya sudah pernah ada dengan mengambil kisah klasik dari khazanah budaya Hindu ini. Bahkan pernah dibuat film Mahabharata dengan menafsirkan tokoh-tokohnya yang “menyimpang” dari karakter seperti yang dikenal di Nusantara, saya lupa judulnya tetapi seorang seniman Bali yaitu Made Tapa Sudana ikut membintanginya. Seniman Bali pun dalam pertunjukan teater (utamanya wayang kulit) berkali-kali menafsirkan kisah ini dengan bebasnya, tanpa mengubah alur pokok. Semuanya adalah sah-sah saja, seperti halnya kita tak pernah tahu – dan selalu terbuka sebagai sebuah perdebatan – yang mana versi Mahabharata yang asli. Atau adakah yang asli dan siapa yang berhak menyebutnya itu asli?

2. Dalam ajaran Hindu, Mahabharata bukan kitab suci. Kitab Suci Hindu sudah sangat jelas, yakni: Weda, wahyu Tuhan yang diterima oleh Sapta (7) Rsi. Kitab Suci Hindu bukan karangan manusia, meski manusia itu Rsi sekalipun. Weda terdiri dari 4 kitab, yakni Atharwa Weda, Sama Weda, Yajur Weda dan Reg Weda. Kitab inilah yang dijadikan rujukan baik dalam ritual maupun amalan agama. Karena ke empat Weda ini terdiri dari sloka yang sangat rumit, kemudian kitab Bhagawadgita dijadikan Pancamo Weda, artinya tergolong Weda kelima.

3. Mahabharata dalam sastra budaya Hindu tergolong Ithiasa. Ithiasa ini maksudnya adalah kisah-kisah yang bisa dijadikan sesuluh (pedoman) dalam kehidupan di masyarakat, yang baik dibuang, yang bagus ditiru. Jadi dalam Ithiasa ada kisah baik dan ada kisah buruk. Kitab Suci sebagai Wahyu Tuhan, mana ada yang buruk? Banyak kitab yang digolongkan itihasa, yang terkenal lainnya selain Mahabharata adalah Ramayana. Sekali lagi Ithiasa bukan Kitab Suci.

4. Belakangan, dengan munculnya kelompok-kelompok aliran dalam Hindu yang biasa disebut Sampradaya (system perguruan), memang ada satu sampradaya yang bernama Waisnawa dan mengklaim Mahabharata sebagai kitab suci, hanya karena di dalam Mahabharata itu ada wejangan Krisna kepada Arjuna yang dikenal sebagai Bhagawadgita. Namun pendapat ini bukan dianut oleh sampradaya yang lain, termasuk umat Hindu yang tidak bergabung dalam salah satu sampradaya (mayoritas umat Hindu di Nusantara).

5. Karena Mahabharata bukan kitab suci, maka pelaku-pelaku dalam karya klasik ini bukan dipuja sebagai Ista Dewata (Dewa atau Dewi). Dalam ritual Hindu sama sekali tak ada Dewi Drupadi sebagai Istadewata. (Contoh Dewi dalam Istadewata, antara lain, Dewi Durga, Dewi Uma, Dewi Sri, Dewi Laksmi, Dewi Saraswati – dan ini ada pujanya). Drupadi, kalau pun diberi embel-embel Dewi – meski jarang sekali orang Bali memberi embel-embel Dewi untuk Drupadi – itu semacam penghormatan kepada seorang perempuan agar berperilaku seperti Dewi. Saya kira di Nusantara ini ada ratusan wanita bernama Dewi di depannya. (Apa Dewa atau Dewi itu Tuhan? Tidak. Ah, baca buku saya: Kebangkitan Hindu Abad 21. Di situ jelas disebutkan, apa itu Tuhan, apa itu Dewa, apa itu Bethara, suatu hal yang dirancukan di kalangan masyarakat awam umat Hindu).

6. Bhima tak pernah menyembah Dewa? Memang begitulah versi Mahabharata yang mengakar dalam budaya Hindu. Tak pernah ada versi yang menyebutkan Bhima sebagai penyembah Dewa dalam pengertian phisik, meski hati Bhima selalu membela kebenaran (dharma). Dalam sebuah cerita disebutkan, karena Bhima harus menyembah Dewa pada saat-saat akhir kehidupan Pandawa, Yudistira kemudian melakukan “rekayasa”. Bhima diminta memperlihatkan kukunya yang sakti itu, karena Bhima memang suka dipuji jika menyangkut kesaktian dan kejantanan dan dia juga polos, maka diperlihatkanlah kukunya itu. Sikap ini kemudian “disimbulkan” sebagai “sudah menyembah”. Apa yang dipetik dari pelajaran ini? Orang yang berada dalam jalan dharma, tidak harus pamer menyembah ini menyembah itu, sembahyang ini sembahyang itu, dengan hati yang tulus dan bersih pun dia sesungguhnya menjalankan ajaran agama (dharma). Lalu, yang mana benar? Tentu tak ada yang tahu, karena penyusun Mahabharata itu sendiri sudah ribuah tahun tiada. (Di Indonesia ada puluhan buku tentang Mahabharata, dan Pustaka Manikgeni dalam waktu dekat ini akan menerbitkan Mahabharata yang ditafsirkan oleh Prof. Wayan Nurkancana).

Demikian tanggapan saya, kalau memang diperlukan bahan-bahan, sudah terbitk buku tentang Itihasa Mahabhatara dan Ramayana ditulis Prof. Dr. Made Titib (salah satu wakil Ketua Sabha Walaka), bukunya tebal sekali dan harganya Rp 90.000 lebih, penerbit Paramita Surabaya. Majalah Hindu Raditya pernah membuat cover story tentang: “Mahabharata dan Ramayana, Fiksi atau Sejarah?’ (Informasi lengkapnya email raditya_majalah@yahoo.com atau di webnya).

Akhirnya kepada produser yang membuat film Drupadi, saya mendukung pembuatan film itu untuk lebih memperkenalkan Mahabharata di kalangan masyarakat sehingga bisa mengambil manfaat dari kisah klasik adiluhung itu. Tentu saja penafsiran Anda, cocok atau tidaknya, akan dijawab oleh masyarakat (penonton), kalau baik akan digemari kalau buruk akan ditinggalkan.

Salam hangat
Om Shanti, Shanti, Shanti, Om

Ida Bhawati Putu Setia
Wakil Ketua Sabha Walaka PHDI Pusat
Pendiri Pesraman Dharmasastra Manikgeni
Email: jerosetia@yahoo.co.id

6 komentar:

Dadia Yehsong mengatakan...

Saya bukan penganut salah satu sampradaya, cuma saya agak bingung. Setahu saya Bhagawad Gita yang kemudian menjadi Pancamo Weda, merupakan salah satu bagian dari Mahabharata. Kalau Mahabharata bukan kitab suci, bagaimana mungkin di dalamnya terselip kitab suci.

Kalau diandaikan sebuah tubuh, bukannya mestinya Mahabharata dan Bhagawad Gita adalah satu kesatuan?

Mohon penerahannya.

ketut sutawijaya mengatakan...

halo, saya agak OOT nih :). kemaren teman-teman Hindu di Jogja setelah berdiskusi panjang tantang Hindu, muncul pertanyaan menggelitik: "adakah diantara kita ini pernah membaca kitab suci Hindu?". Jawabannya tidak ada yang pernah membaca. weh.. yang pernah dibaca dan didengar adalah kisah mahabrata dan ramayana, dan seringkali menjadi rujukan sebagai kitab suci. hehehehe, sungguh ironis ya. untuk itu, saya mau tanya kepada Bapak Putu Setia, dimanakah saya bisa mendapatkan kitab suci agama hindu? seperti yang bapak jelaskan di postingan ini. selama ini saya hanya membaca dari buku-buku agama di sekolah, dan sama sekali tidak memuaskan. terimakasih banyak.

Ida Bhawati Putu Setia mengatakan...

Untuk Dalem Tamblingan: Kitab Suci Hindu itu Weda (Catur Weda). Lalu menyusul kitab Brahmana, Aranyaka dan Upanisad yang dijadikan satu kesatuan dengan Catur Weda Samhita itu. Selanjutnya kitab Sutra, Smrti, Ithihasa, Purana tergolong Susastra Weda (vedic Literature), jadi Bhagawadgita (Mahabrahata) masuk di sini. Bapak perlu baca buku Ithihasa tulisan Prof. Made Titib hal. 35, jelas sekali di sana.

Untuk Kunang Lawu:
ha... ha..ha...memangnya di Yogya nggak ada toko buku? Semua kitab suci itu sudah dicetak oleh penerbit Paramita atas pesanan Depag. Rata-rata satu kitab sekitar seratus ribuan di toko. Nasib saya lebih baik karena bisa "minta" ke Depag, mungkin tahu saya pensiunan tak berduit (lupa dulu korupsi)

ketut sutawijaya mengatakan...

hehehehehe.., nah sayangnya itu, di jogja terlalu banyak toko buku. sehingga kitab sucinya gak lagi weda, melainkan kitabnya adalah buku marx, gramsci, galtung, dll :D :D. saya mohon petunjuknya, terus terang saya belum pernah menemui 4 kitab yang Bapak Putu Setia sebutkan itu. hehehehe :)

Ida Bhawati Putu Setia mengatakan...

Untuk Pak atau Bu Kunang Lawu:
Coba hubungi Penerbit Paramita di
email: info@penerbitparamita.com
http://www.penerbitparamita.com

Jl. Menanggal III No. 32 Telp. (0311)8295555
Surabaya 60234

Tapi saya sendiri belum pernah kontak, soalnya di Denpasar berjubel buku-bukunya.

dnd mengatakan...

tdk usah lg berpolemik ttg Drupadi, who the hell is Aryaweda with gangs of WYHO, who represent who....??? Atas nama kreatifitas positif yg memberi arah pandang yg bermacam-macam;salut!! mari kita baca lagi dan gali yg banyak kitab kita untuk spirit ke"KINI"an...


Free Blog Content