Sabtu, Februari 14, 2009

Bodoh

Selesai seminar yang mengulas masalah moral, seseorang menghampiri saya dan langsung bicara: “Saya ingin tanggapan. Saya mengamati banyak sekali orang bodoh di sekitar kita, apakah ini juga termasuk ciri kegelapan dalam era Kali Yuga? Atau mungkin saya yang bodoh?”
Karena saya sudah capek bicara dalam seminar, saya menanggapi seadanya: “Apa contohnya?”

Dia lalu menyebut kasus demo anarkis di Medan yang menyebabkan Ketua DPRD Sumatra Utara Abdul Azis Angkat tewas. Pemekaran wilayah, menurut dia, hanyalah pintu masuk untuk berebut jabatan. Di mana-mana, pencetus ide pemekaran provinsi, kalau berhasil, punya kesempatan besar menjadi gubernur, pencetus pemekaran kabupaten menjadi bupati. Teman-temannya menjadi pejabat semua, minimal anggota dewan. Tak dipikirkan, berapa anggaran yang harus disediakan untuk mengisi jabatan dan fasilitas itu dan apakah sebanding dengan apa yang diperoleh rakyat akibat pemekaran. Usul pemekaran tetap ngotot diperjuangkan. Nah, ketika terjadi kebrutalan dan korban jatuh, bukan jabatan gubernur yang datang, tetapi “jabatan” sebagai tahanan. Ini kan bodoh.

“Ada contoh lain?” Tanya saya memotong. Dia bicara lagi: “Ya, kenapa menyalurkan pendapat harus lewat aksi brutal? Mahasiswa menuntut pemerintahan yang bersih, pagar kantor gubernur diobrak-abrik. Masa menuntut harga-harga turun, fasilitas umum di jalanan dirobohkan. Buruh menuntut gaji naik, jalur perekonomian penting diblokir. Mereka merusak dan membebani keuangan Negara dengan dalih memperbaiki keadaan. Ini kan pekerjaan orang bodoh.”

“Maksud saya, contoh versi lain, saya bosan dengan itu,” kata saya lagi. Dia berhenti sejenak lalu bicara: “Sekarang orang berebut ingin jadi wakil rakyat di daerah. Uang yang dihabiskan bermilyar rupiah untuk membuat baliho, memberi sumbangan, kenduri dan macam-macam. Padahal, kalau dia sudah jadi wakil rakyat, gajinya sekitar Rp 10 juta, katakan naik jadi Rp 20 juta. Lima tahun menjabat kan baru dapat Rp1,2 milyar. Bagaimana mengembalikan modal? Belum dipotong sumbangan partai dan untuk makan. Kenapa sebodoh itu?”

“Wah, contohnya klise. Ada yang lain?” kata saya. Tak butuh waktu lama, dia bicara: “Ibu Mega memasang iklan besar-besar yang menyalahkan pemerintah. Ini salah, itu melanggar janji, itu memutar fakta. Apa rakyat semua bodoh? Ketika Ibu Mega menjabat, memang nya tak ada yang salah? Rakyat berpaling, pasti karena ada sesuatu yang salah. Kalau cerdas, semestinya membuat iklan yang simpatik, seperti ikklannya partai lain.”

“Stop, Anda kok sinis dengan Ibu Mega. Saya tak mau contoh itu,” saya memotong. Dia cekatan sekali melanjutkan: “Kalau begitu soal kegundahan Presiden SBY, rumor ABS. ABS kan bisa macam-macam, bisa Asal Bukan Sutiyoso, Asal Bukan Sultan, Asal Bukan Surya Paloh, Asal Bukan Soekarno Putri, Asal Bukan Sontoloyo. Yang saya harapkan, Pak SBY bijaksana sehingga tak usah menanggapi hal-hal yang kecil. Tenang sajalah, jangan panik.”

“Itu contohnya terlalu tinggi,” kata saya. “Oke,” kata dia cepat-cepat, “ada ribuan orang mendatangi dukun tiban yang baru berumur sepuluh tahun, semuanya ingin kesembuhan instan. Dinas Kesehatan jatuh wibawanya dan tak ada orang cerdas yang memberikan pandangan kalau semuanya itu hanya sugesti…”

“Stop, itu menyangkut keyakinan, tak bisa diperdebatkan, ada contoh lain?” kata saya. Dia berpaling: “Tadi saya pikir saya yang bodoh, ternyata Anda jauh lebih bodoh, tak satu pun pertanyaan saya Anda tanggapi.” Orang itu pergi, saya sampai lupa menanyakan identitasnya.

(Diambil dari Koran Tempo, 8 Februari 2009)

Selengkapnya

Golput

Semakin dekat Pemilu semakin sering saya tertawa. Meskipun hanya di dalam hati, namun ketawa yang tak sampai bunyi itu konon merangsang otak untuk menyehatkan tubuh. Saya tak tahu kebenaran ini, tapi yang jelas suasana Pemilu benar-benar membuat saya terhibur.

Keluar rumah selangkah saja, sudah bertebaran baliho para calon legislatif. Wajah-wajah itu, membuat saya ngengir berkepanjangan. Ada yang bergaya orator ulung dengan latar belakang gambar Soekarno menuding. Ada yang seperti berteriak dengan latar foto Megawati yang mengacungkan tangan. Ada yang kalem, mirip terdakwa kasus korupsi, latar belakangnya gambar Sultan HB X yang juga kalem. Calon legislatif wanita seperti kontes Miss Universe, meski pun ada yang posenya seperti bakul jamu, tukang pijat, dan sebagainya.

Persaingan begitu ketat, calon wakil rakyat harus menjajakan wajah dan nomor urutnya lewat baliho dan (yang punya uang berlimpah) pasang iklan di koran. Pemilu sebelumnya lebih sederhana, partai yang menentukan siapa yang duduk atau tidak, pemilih pun mencoblos partai. Sekarang, setiap calon harus “unjuk gigi. Di pulau sekecil Bali saja ada 5079 calon legislatif yang bertarung memperebutkan 399 kursi. Kalau satu orang membuat sepuluh baliho maka ada 50 ribu lebih baliho. Ini angka terendah, karena seorang calon untuk wakil rakyat di pusat dan provinsi yang wilayah pemilihnya lebih luas, membutuhkan lebih dari 300-an baliho. Bayangkan berapa uang yang beredar dalam “bisnis baliho” ini, lalu bayangkan akan ada 4680 orang yang kalah dan mungkin punya utang.

Berapa milyar atau trilyun uang yang habis untuk baliho di seluruh Indonesia? Jika ini mau dihitung, saya bisa urung tersenyum. Saya lebih tertarik membaca slogan yang ada di baliho. Sebagian besar menyebutkan, akan berjuang untuk rakyat, dengan bahasa Indonesia yang rusak parah. Sebagian besar pula kurang percaya diri sehingga perlu menambah foto Soekarno, Megawati, Wiranto, Prabowo, Sultan HB X di latar belakangnya. Bahkan ada baliho dengan latar belakang Presiden AS, Obama. Slogannya: “Saatnya orang muda yang tampil”.

Karena bukan memilih partai, tetapi memilih orang, rasanya saya akan golput. Soalnya saya bingung. Dengan sistem Pemilu sekarang, domisili pemilih menyebabkan dorongan memilih itu berbeda. Kalau saya berdomisili di Klaten, misalnya, pilihannya gampang, antara Puan Maharani atau Hidayat Nurwahid. Bukan maksud saya memilih PDI Perjuangan atau memilih PKS, tetapi karena Puan cantik dan Hidayat Nurwahid saya kenal pemikirannya. Jadi, urusannya personal.

Saat ini saya berada di daerah pemilihan di mana calon-calon legislatifnya tak saya kenal ulahnya, selain fotonya yang nampang di baliho. Kalau saya mengikuti imbauan “memilih dengan cerdas dan tepat seraya menggunakan hati nurani”, maka pilihan saya adalah tetap tidak memilih alias golput. Ini menurut “hemat” saya, yang bisa berbeda menurut “hemat-hemat” orang lain.

Masalahnya, kenapa golput diharamkan oleh MUI? Kalau nurani saya berkata: itu calon koruptor, itu calon peselingkuh, itu calon wakil rakyat yang tak pernah sidang, itu calon yang hanya bisa omong, bukankah saya lebih baik menyelamatkan bangsa ini dengan cara tidak memilih mereka? Biar suara mereka tak memenuhi “bilangan pembagi pemilih”. Dengan ongkos yang tinggi berebut kursi di DPR atau DPRD, sudah pasti langkah pertama mereka di dewan adalah “bagaimana mengembalikan modal”. Untuk apa orang seperti itu diberi kursi? Dan akhirnya, untuk apa memilih kalau tak ada yang layak dipilih?
(Diambil dari Koran Tempo, 1 Februari 2009)

Selengkapnya

Survei

Selamat Tahun Baru 2009, semoga di tahun ini kehidupan kita lebih baik dari tahun sebelumnya. Dalam upaya itulah, pada malam tahun baru, saya mendatangi seorang paranormal. Ini baru pertamakali saya lakukan. Saya menanyakan, apa yang harus saya kerjakan agar kehidupan lebih baik. Jawabannya: “Dirikan lembaga survei”.

Astaga! Ini dunia yang asing. Kepalang basah, saya segera kontak seorang teman di Jakarta yang banyak tahu dunia itu. “Paranormal itu betul sekali, sekarang lembaga survei sedang menjamur, maklum menjelang Pemilu,” katanya. “Saya bahkan sudah mendirikan dua bulan lalu, dan sudah melakukan survei mengenai calon presiden.”

Saya tercengang. “Boleh tahu apa hasil survei yang Anda lakukan?” tanya saya. Dia menjawab dengan semangat: “Jika Pemilu Presiden dilangsungkan hari ini, di urutan pertama ada nama Dhani Dewa, urutan kedua Ariel Peterpan, urutan ketiga Eko Patrio. Dua nama lain, suaranya kecil sekali.”

Saya terbahak-bahak. “Lo, kenapa tertawa? Ini survei serius,” katanya. Saya jawab, itu tak masuk akal. Bagaimana mungkin SBY dan Mega dikalahkan oleh Dhani Dewa dan Eko Patrio?

Menurut teman saya, calon presiden yang diajukan dalam survei itu lima orang, dua lainnya yang suaranya kecil adalah Jojon dan Tukul. Nama SBY, Megawati, Sultan atau tokoh lainnya, tak disebutkan. Responden harus memilih dari nama yang ada saja. Semua lembaga survei punya motode sendiri untuk mencapai tujuan yang tidak pernah dijelaskan secara transparan ke masyarakat. Targetnya menggiring opini.

Saya tambah bingung. Teman saya memberi contoh. Ada hasil survei yang menyebutkan kinerja pemerintahan SBY buruk. Namun, hasil survei yang sama, menyebutkan SBY tetap pilihan pertama untuk jabatan presiden. Logikanya dari mana? Karena pertanyaan pertama adalah: apakah Anda menilai kinerja pemerintah ini buruk atau baik? Lalu pertanyaan lain: siapa yang Anda jagokan sebagai presiden? Di situ, selain ada nama SBY ada nama-nama tokoh lawas yang didaur-ulang dari pemilu sebelumnya. Ya, logis SBY yang dipilih. Coba dampingi SBY dengan nama lain, tokoh lebih muda yang bersih, pasti hasilnya beda.

Saya tetap bingung. Teman saya menjelaskan, saat ini lembaga survei tak semuanya independen. Ada lembaga survei yang merangkap konsultan sebuah partai. Sudah pasti hasil surveinya akan menguntungkan partai itu. Dia bisa jadi alat kampanye, setidaknya menggiring opini publik untuk kepentingan kliennya. Dengan berkedok pada metode survei yang bisa berbeda, dia bisa menjelaskan kenapa hasil surveinya tak pernah mirip dengan hasil survei lembaga lain. Itu sebabnya, hasil survei berbagai lembaga, simpang siur. Yang satu bilang partai ini atau tokoh ini lebih populer, yang satu bilang, itu lebih populer. Tinggal kekuatan uang, siapa yang berani pasang iklan lebih besar untuk mempublikasikan hasil surveinya, itu yang memenangi opini publik.

Saya makin bingung. Teman saya mengatakan, seharusnya Komisi Pemilihan Umum memberikan akreditasi pada lembaga survei. Siapa orang di lembaga itu, punya keahlian melalukan survei apa tidak, modalnya dari mana, metode surveinya seperti apa. Kalau tak ada akreditasi itu, semua orang bisa mengumumkan hasil surveinya yang menguntungkan siapa yang memberi modal. Atau ada survei bohong-bohongan, kan tak jelas, harus bertanggungjawab ke mana?

Saya masih bingung. Ketimbang bingung terus, saya putuskan untuk hidup biasa-biasa saja, tak usah mengikuti saran paranormal mendirikan lembaga survei. Banyak bersyukur, kok rasanya lebih bahagia.

(Diambil dari Koran Tempo, 4 Januari 2009)

Selengkapnya

Free Blog Content