Berita hangat menjelang puasa adalah kenaikan harga elpiji, daging ayam, telur, lalu ada razia minuman keras oleh ormas tertentu. Namun di Bali ada yang lain, yakni ditundanya eksekusi pelaku bom Bali I, Amrozy dan teman-temannya. Berita ini mengalir terlalu jauh di radio-radio interaktif, menjadi obrolan sehari-hari, mengalahkan berita pelantikan Gubernur Bali yang baru, Made Mangku Pastika. Padahal antara Amrozy dan Mangku Pastika ada “kaitan sejarah”, yang satu pengebom yang satu penangkapnya.
Orang Bali salah menerjemahkan janji Jaksa Agung Herdaman Soepandi. Jaksa Agung sebelumnya mengumbar janji, Amrozy dan teman-temannya akan dieksekusi sebelum puasa. Ini membuat orang Bali senang, karena tragedi bom Bali akan segera “tutup buku” begitu sang pelaku (baik pengebom maupun penangkap pelaku bom) sudah menerima phala (buah atau hasil) dari karma (perbuatan)-nya. Begitulah keyakinan secara tradisi jika dikaitkan dengan hukum karma atau sering disebut karma phala, dan itulah yang ingin “ditutup” oleh orang Bali.
“Orang Bali memang bodoh menangkap janji,” kata istri saya. “Janji Jaksa Agung tak ada yang keliru dan tak ada yang diingkari,” katanya lagi. Saya kaget, kok istri saya melawan arus? Apa takut dengan jaksa? Sejak teman saya, Bersihar Lubis, masuk pengadilan gara-gara mengkritik jaksa, istri saya selalu mengingatkan: jangan bilang aparat jaksa jelek apalagi mengatakan ingkar janji. Mereka berbicara berdasarkan hukum yang berlaku, bukan hukum karma.
Jaksa Agung, kata istri saya berceramah, berjanji akan mengeksekusi Amrozy dan teman-temannya sebelum bulan puasa. “Beliau kan tidak mengatakan puasa tahun ini? Itu artinya bisa puasa tahun depan, puasa dua tahun lagi, atau sepuluh tahun lagi,” begitu istri saya menjelaskan. Sekarang, Jaksa Agung mengeluarkan janji baru, Amrozy pasti akan dieksekusi tahun 2008. “Ingat kata-kata itu, saya sudah rekam janji Jaksa Agung itu di televisi. Tak ada kata-kata lain yang mengikuti tahun 2008,” kata istri saya lagi.
Apa artinya? “Bisa saja eksekusi itu terjadi tahun 2008 Saka, 78 tahun lagi, mungkin dikaitkan dengan tempat kejadian perkara di Bali. Atau malah tahun 2008 Hijrah dikaitkan dengan kayakinan Amrozy. Tak ada kata-kata Masehi. Jaksa itu pintar bicara, lo, kan mereka itu pengacara Negara.”
Saya hanya bisa mengangguk. “Syukurlah, banyak orang pintar di negeri ini, semoga masyarakat cepat makmur,” komentar saya seadanya. Istri saya menimpali, “Kalau urusannya mensejahtrakan masyarakat, pejabat tidak harus pintar, yang penting bijaksana.” Ah, saya terkesiap.
“Puasa bisa melatih orang untuk bersikap bijaksana.” Lagi-lagi saya kaget, kok urusan beralih ke masalah puasa. “Makanya ikut puasa. Tapi, jangan berpuasa hanya untuk berpantang makan dan minum saja, itu sih gampang. Cobalah kendalikan pikiran, kendalikan lidah, kendalikan prilaku. Apalagi menjelang Pemilu, jangan obral janji.”
Jika puasa ditandai dengan memasang stiker, spanduk, baliho dan semacamnya, memang itu tergolong pintar. Pintu ruang kerja anggota DPR pun ada bertulis “puasa korupsi”, toh yang di dalamnya terima duit haram. Agus Condro menerima uang suap, lalu bertobat, itu bijaksana. Tapi rekannya menolak terima suap. Apa Agus Condro yang pintar membuat rekayasa atau teman-temannya pintar berkelit? Banyak tokoh obral janji, mengaku pintar mengelola Negara, tapi sikapnya tak bijaksana,menciptakan sekat-sekat di masyarakat. Mudah-mudahan puasa nanti bisa menyadarkan orang pintar itu agar lebih bijaksana. ***
Diambil dari Koran Tempo, 31 Agustus 2008
Orang Bali salah menerjemahkan janji Jaksa Agung Herdaman Soepandi. Jaksa Agung sebelumnya mengumbar janji, Amrozy dan teman-temannya akan dieksekusi sebelum puasa. Ini membuat orang Bali senang, karena tragedi bom Bali akan segera “tutup buku” begitu sang pelaku (baik pengebom maupun penangkap pelaku bom) sudah menerima phala (buah atau hasil) dari karma (perbuatan)-nya. Begitulah keyakinan secara tradisi jika dikaitkan dengan hukum karma atau sering disebut karma phala, dan itulah yang ingin “ditutup” oleh orang Bali.
“Orang Bali memang bodoh menangkap janji,” kata istri saya. “Janji Jaksa Agung tak ada yang keliru dan tak ada yang diingkari,” katanya lagi. Saya kaget, kok istri saya melawan arus? Apa takut dengan jaksa? Sejak teman saya, Bersihar Lubis, masuk pengadilan gara-gara mengkritik jaksa, istri saya selalu mengingatkan: jangan bilang aparat jaksa jelek apalagi mengatakan ingkar janji. Mereka berbicara berdasarkan hukum yang berlaku, bukan hukum karma.
Jaksa Agung, kata istri saya berceramah, berjanji akan mengeksekusi Amrozy dan teman-temannya sebelum bulan puasa. “Beliau kan tidak mengatakan puasa tahun ini? Itu artinya bisa puasa tahun depan, puasa dua tahun lagi, atau sepuluh tahun lagi,” begitu istri saya menjelaskan. Sekarang, Jaksa Agung mengeluarkan janji baru, Amrozy pasti akan dieksekusi tahun 2008. “Ingat kata-kata itu, saya sudah rekam janji Jaksa Agung itu di televisi. Tak ada kata-kata lain yang mengikuti tahun 2008,” kata istri saya lagi.
Apa artinya? “Bisa saja eksekusi itu terjadi tahun 2008 Saka, 78 tahun lagi, mungkin dikaitkan dengan tempat kejadian perkara di Bali. Atau malah tahun 2008 Hijrah dikaitkan dengan kayakinan Amrozy. Tak ada kata-kata Masehi. Jaksa itu pintar bicara, lo, kan mereka itu pengacara Negara.”
Saya hanya bisa mengangguk. “Syukurlah, banyak orang pintar di negeri ini, semoga masyarakat cepat makmur,” komentar saya seadanya. Istri saya menimpali, “Kalau urusannya mensejahtrakan masyarakat, pejabat tidak harus pintar, yang penting bijaksana.” Ah, saya terkesiap.
“Puasa bisa melatih orang untuk bersikap bijaksana.” Lagi-lagi saya kaget, kok urusan beralih ke masalah puasa. “Makanya ikut puasa. Tapi, jangan berpuasa hanya untuk berpantang makan dan minum saja, itu sih gampang. Cobalah kendalikan pikiran, kendalikan lidah, kendalikan prilaku. Apalagi menjelang Pemilu, jangan obral janji.”
Jika puasa ditandai dengan memasang stiker, spanduk, baliho dan semacamnya, memang itu tergolong pintar. Pintu ruang kerja anggota DPR pun ada bertulis “puasa korupsi”, toh yang di dalamnya terima duit haram. Agus Condro menerima uang suap, lalu bertobat, itu bijaksana. Tapi rekannya menolak terima suap. Apa Agus Condro yang pintar membuat rekayasa atau teman-temannya pintar berkelit? Banyak tokoh obral janji, mengaku pintar mengelola Negara, tapi sikapnya tak bijaksana,menciptakan sekat-sekat di masyarakat. Mudah-mudahan puasa nanti bisa menyadarkan orang pintar itu agar lebih bijaksana. ***
Diambil dari Koran Tempo, 31 Agustus 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar