Senin, Desember 22, 2008

Yoga, Haram?

Sejumlah ulama Islam di Mesir melahirkan fatwa tentang pelarangan yoga bagi kaum Muslim. Hal ini diikuti oleh Malaysia yang mengharamkan bagi umat Muslim untuk ikut yoga. Di Indonesia, meski pun tak begitu muncul di permukaan, ada desakah agar Majelis Ulama Islam (MUI) melakukan pengkajian terhadap yoga dan kalau memang bertentangan dengan ajaran Islam supaya MUI mengambil sikap yang tegas.

Kami, penganut Hindu, tentu menghormati sikap mereka. Tugas majelis ulama memang harus melindungi umatnya dari hal-hal yang tidak dibenarkan dalam ajaran agama. Majelis ulama harus menjadi benteng dari kemurnian ajaran agama dari berbagai virus lain yang bisa memperlemah ajaran itu sendiri. Agama sudah mempunyai patokan dan ukuran yang khas dan memang harus diikuti oleh penganutnya. Patokan dan ukuran itu dasarnya adalah kitab suci yang dipakai masing-masing agama.

Artinya, apakah saudara kita umat Islam mengharamkan yoga atau tidak, itu bukan urusan umat Hindu. Itu urusan umat Islam sendiri. Umat Hindu tak perlu ikut campur, apalagi dibuat resah. Juga jangan sekali-sekali punya perasaan kecewa apalagi lalu muncul sikap marah atau protes, kenapa yoga diharamkan. Masing-masing agama punya koridor sendiri, punya “rumah” sendiri. Sepanjang hal itu tidak mengganggu urusan umat lain, tak ada alasan apa pun untuk menggugatnya. Sekali lagi haram atau halal yoga bagi umat Islam itu adalah urusan saudara kita umat Muslim yang kita cintai.

Yoga memang dekat sekali dengan Agama Hindu karena yoga lahir di kalangan komunitas Hindu. Dan yoga diperkenalkan lalu diajarkan secara turun temurun oleh para Rsi dan para murid-muridnya kemudian menyebarkan yoga ke seluruh dunia.

Namun yoga sejatinya jauh dari ritual agama. Yoga murni olahraga, baik yang mengatur masalah phisik dengan berbagai gerakan maupun mengatur pernafasan dengan berbagai teknik. Antara gerakan phisik dan pernafasan ini melahirkan satu keseimbangan yang menyehatkan tubuh.

Bahwa yoga diawali dengan doa, itu benar sekali. Namun doa dalam hal ini bukanlah ritual agama, tetapi lebih pada “penganjali” (istilah Hindu) atau “salam” (istilah Islam yang sudah umum) atau sesungguhnya “permohonan agar semuanya berlangsung selamat”. Semua agama mengajarkan untuk melafalkan “panganjali” atau ”salam” sebelum melakukan kegiatan apa pun. Umat Hindu biasa mengucapkan Om Awignam Astu sebelum melakukan sesuatu kegiatan. Kalau kegiatan itu di depan banyak orang, misalnya, menyampaikan pidato, tentu didahului oleh Om Swastyatu. Jadi, Om Swastyastu adalah “penganjali” untuk ditujukan kepada sesama manusia agar diberkati oleh Tuhan, Om Awignam Astu adalah “penganjali” kepada Tuhan agar apa yang akan dikerjakan diberi keselamatan atau anugerah.

Dalam contoh yang sangat nyata sekali kita misalnya mendengar umat Islam mengucapkan “Bismilah….” dan seterusnya, sebelum melakukan sesuatu kegiatan. Jika kegiatan itu misalnya membacakan pidato di depan umum (supaya contohnya sama dengan di atas) maka didahului dengan “Assalamalaikum….” dan seterusnya. Padahal pidato-pidato itu tidak disampaikan dalam kegiatan ritual agama, tetapi rapat kerja partai, atau arisan, misalnya.

Dalam praktek yoga umumnya memang didahului oleh doa atau mengucapkan mantram. Karena yoga diperkenalkan pertama-tama pada komunitas Hindu, sudah tentu doanya itu dalam doa Hindu. Dan tujuan doa itu juga meminta “perlindungan” dari Tuhan Hyang Widhi agar diberi keselamatan, lalu “penghormatan” kepada para Rsi penemu yoga, sebagai guru yang telah menularkan ilmu ini secara turun-temurun (parampara).

Nah, kalau dalam perkembangan zaman global ini yoga tidak hanya diikuti oleh orang Hindu tetapi juga diikuti oleh pemeluk agama lain, bukankah doa itu bisa disampaikan dalam tradisi masing-masing agama? Toh tidak ada kewajiban mengucapkan doa itu secara keras, cukup berbisik kecil atau bahkan cukup di dalam hati saja. Jadi, sesungguhnya dalam mengawali yoga sebagai suatu teknik olahraga tubuh dan pernafasan, doa pembuka itu bisa disampaikan dengan doa agama masing-masing pengikutnya.

Saya pernah ikut dan mendalami teknik Meditasi Usadha yang diperkenalkan dan dipopulerkan oleh Merta Ada. Beliau penganut Buddha yang taat. Ketika mengawali meditasi itu selalu ada ruang untuk menyampaikan doa, dan selalu instruksinya adalah: “Berdoa sesuai keyakinan masing-masing”. Bukan berdoa dalam agama Buddha. Hanya pada akhir meditasi, instruktur memberikan “doa” yang sangat umum dan universal, juga dalam bahasa Indonesia, bunyinya: “Semoga semua makhluk berbahagia”, dan itu diucapkan tiga kali. Tak ada yang keberatan dengan “doa penutup“ yang universal ini. Namun, karena saya tak paham benar apa kriteria makhluk itu (apakah bakteri, kuman-kuman dan semua makluk jahat harus didoakan supaya bahagia juga), maka saya seringkali menutup acara meditasi itu dengan doa Hindu, sesuai agama yang saya anut. Jadi saya mengucapkan “Om Shanti, Shanti, Shanti, Om” sebagai pengganti “Semua makhluk berbahagia.”

Dalam kegiatan Meditasi Angka, suatu meditasi yang diperkenalkan oleh Made Darmayasa di Indonesia, doa pembuka itu juga selalu ada. Jika meditasi itu hanya diikuti oleh penganut Hindu, apalagi dilaksanakan di senter Meditasi Angka di Padanggalak, Bali, doa itu panjang. Ada pemujaan untuk banyak dewa. Namun, jika Meditasi Angka dilakukan di hotel berbintang di Jakarta dan pesertanya dari berbagai agama, doa itu sangat universal dan kalau pun disertai doa khusus yang sesuai dengan agama peserta meditasi, itu dilakukan di dalam hati.

Kembali ke yoga, diharamkan atau dihalalkan untuk kalangan Muslim, adalah sepenuhnya urusan mereka. Tentu umat Hindu tak mengharapkan Parisada (majelis agama Hindu) suatu saat melarang umat Hindu melakukan senam jantung sehat atau bermain karate, kungfu bahkan sepakbola, hanya karena olahraga itu diciptakan oleh orang yang bukan penganut Hindu. Olahraga, menurut saya, sepertinya jauh dari wilayah agama.
(Versi lain dari Editorial Majalah Hindu Raditya edisi Januari 2009)

Selengkapnya

Iklan


Ini bukan iklan politik. Juga bukan iklan caleg-calegan. Ini hanya cerita seorang teman yang gemar sekali mengomentari iklan, tetapi sangat terpengaruh oleh iklan. Bayangkan saja, ia sudah demikian sehat lahir batin, masih saja minum suplemen untuk “keperkasaan laki-laki”. Apanya lagi yang perlu diperkasa?

“Kalau saya tak minum obat kuat itu, kasihan kan produsennya pasang iklan mahal-mahal,” katanya. Artinya, teman saya ini setuju, iklan itu perlu untuk menjual produk. Namun, katanya lagi, kalau usahanya itu sudah monopoli, tak ada saingan sama sekali, ya, untuk apa beriklan? Itu buang-buang duit dan rentan korupsi, apalagi jika itu perusahaan negara. “Contohnya Pertamina, ngapain mengiklankan jual premium? Memangnya kalau tak beriklan, pemilik sepeda motor dan mobil akan membeli premium di kantor telepon?”

Teman saya ini mencatat, hampir semua departemen membuat iklan tak bermutu, pesan yang disampaikan tak sebanding dengan biaya yang milyaran rupiah. Menteri Kesehatan buat iklan untuk hidup sehat, Menteri Olahraga buat iklan untuk berolahraga. Masyarakat kok dianggap bodoh. Mending uang itu langsung dibagikan ke rakyat saja. Yang mereka jual itu sesungguhnya bukan “produk”, tetapi “tampang pengiklan”.

“Lihat di Depok, walikota pasang iklan lewat baliho untuk mengajak rakyat makan pakai tangan kanan. Ini dikaitkan dengan jati diri bangsa. La, senorak itu pesan yang disampaikan, membawa-bawa jati diri bangsa. Memangnya tak ada yang lebih penting dari itu?” kata teman saya.

Iklan politik dan “iklan caleg” (ini sudah populer, maksudnya iklan yang dibuat para calon legislatif) juga menyebalkan di mata teman saya ini. Partai besar membuat iklan yang menyalahkan pemerintah. Janjinya begitu, faktanya begini. “Padahal mereka menyembunyikan fakta penting, yakni pemimpin partai itu sudah pernah memimpin bangsa ini, tetapi ditinggalkan rakyat karena memang tidak berhasil,” katanya.

Iseng-iseng saya bertanya, apakah kegemaran beriklan ini berdampak positif atau buruk? “Positif untuk pemilik televisi, pembuat spanduk dan baliho. Pengiklan belum tentu, bisa positif bisa negatif,” jawabnya. “Lihat iklan caleg, semuanya dengan bahasa pengemis: mohon dukungan, mohon doa restu, tolong pilih saya. Atau bahasa klise yang jadi bahan tertawaan: kami berjuang untuk rakyat, tempat rakyat mengadu, dan sejenisnya. Memangnya rakyat buta dengan kelakuan anggota dewan yang penuh skandal itu?”

“Ah, Anda terlalu jauh, skandal itu kan ulah oknum,” kata saya. “Tapi ini yang melekat di hati rakyat sekarang. Pada saat rakyat sudah berkesimpulan anggota dewan itu brengsek, meski tidak semua, seharusnya cara beriklan itu lain. Begitu pula pada saat pejabat tak bisa memberi contoh baik pada rakyat, jangan beriklan sok menggurui. Pilih makanan yang sehat, cuci tangan pakai sabun, itu kan seolah rakyat bodoh. Masalahnya, apa rakyat punya makanan dan bisa membeli sabun? Ini kan pesan-pesan gombal.”


Wah, saya tak berani mendebat lagi, takut kata yang keluar lebih jorok dari gombal. Lama saya tak ketemu dia, sampai saatnya saya perlu banget dan mengontak handphone-nya. Tak ada jawaban. Berkali-kali saya memutar nomor 0818xxx xxx, tak ada jawaban, padahal ini kartu yang jangkauannya paling luas dan tarifnya konon paling murah. Eh, tiba-tiba dia nongol dan langsung saya semprot: “Saya telepon Anda, kok tak dijawab?” Dia tenang saja: “Gara-gara iklan. Kartu yang saya pakai dulu, sekarang dipakai para monyet, ya, saya ganti, memangnya saya juga monyet?”
(Diambil dari Koran Tempo 7 Desember 2008)

Selengkapnya

Jumat, Desember 05, 2008

Angka



Namanya Sidhayogi Acharya Shri Kamal Kishore Gosvami. Ia penemu teknik “meditasi angka”. Disebut begitu, karena peserta hanya perlu mengingat satu angka. Angka itu harus dirahasiakan dan hanya boleh diketahui Sang Guru, karena angka itu “disucikan” di hadapan guru. Lewat angka suci itulah para penekun meditasi menyebut nama Tuhan untuk membangkitkan kekuatan kundalini yang ada di dalam tubuh.

Sebagai penekun, seharusnya saya tak perlu tahu angka berapa yang dipilih para sahabat meditasi. Tapi, dasar saya suka iseng, dalam sekali lirikan saya bisa menebak angka yang dipilih oleh teman duduk saya. Misalnya, dengan melihat berapa batang dupa (atau hio) yang dia bakar, berapa kali dia melafalkan doa dari “bahasa tubuhnya”. Bermeditasi dengan iseng melirik kiri kanan seperti ini tentu tak dianjurkan, tapi saya kan memang bandel?

Saya menduga, banyak peserta yang memilih angka 6. Lalu saya main tebak: “O, itu pasti karena angka 6 adalah milik alam semesta, yang memenuhi jagat raya.” Dalam ritual Hindu, angka 4 ada di utara, angka 5 di timur, angka 7 di barat, angka 8 di tengah, dan angka 9 ada di selatan. La, angka 6 kok dilewatkan? Itu artinya angka yang “maha sakti” memenuhi seluruh penjuru angin.

Seorang yogi menyebutkan, angka 6 paling baik. “Hanya angka 6 yang kalau dibalik, nilainya jadi 9, angka tertinggi. Kalau 666, itu lebih istimewa, karena jumlahnya 18, dijumlah lagi jadi 9, padahal tanpa harus dibalik,” katanya. Angka yang bisa diputar balik adalah 1, 6, 8 dan 9. Angka lainnya kalau dibalik “tak berbunyi”. Angka 1 dan 8 meski pun dibalik, nilainya sama. Angka 9 kalau dibalik nilainya malah turun.

Bagi sebagian masyarakat, sejak zaman baheula, angka menjadi roh kehidupan. Semua angka punya makna dan perlambang, lalu jadi acuan dalam mencari jodoh, melakukan usaha, peruntungan, dan segalanya. Ini disebut primbon. Adapun di era modern ini, angka dikutak-katik untuk memasang togel (toto gelap). Ini kebiasaan orang desa. Kalau orang kota, mereka mau membayar mahal untuk nomor polisi di mobilnya atau nomor hp-nya. Ini disebut “nomor cantik”.
.
Banyak juga yang tak peduli angka. Saya termasuk di dalamnya, cuek saja, kecuali untuk meditasi itu. Apalagi, jika dikaitkan dengan kepercayaan, saya bisa bingung, mengacu kepada kepercayaan yang mana? Di India, Cina, Yunani, Dayak Kaharingan, Jawa, makna angka bisa berbeda. Yang mirip hanya di Jawa dan Bali, cuma nama “ilmunya” beda. Di Jawa disebut “neptu”, di Bali disebut “urip”.
Karena itu saya kaget ketika Aburizal Bakrie marah karena dalam gambar sampul Majalah Tempo dikeningnya ada angka 666. Beliau rupanya percaya akan makna angka dan saya tambah kaget lagi karena berdasarkan kepercayaan tertentu.

Tadinya saya pikir beliau senang, karena saya teringat makna angka 666 dari “kepercayaan” yang lain. Saya membayangkan, Pak Ical akan maju terus bisnis dan kariernya. Lagi pula sebagai penggemar tenis, dapat point 6 berarti memenangkan pertandingan. Ternyata, menurut beliau, itu angka setan. Ih, ngeri juga.

Apakah yang menggambar wajah Pak Ical dengan angka itu, tahu seluk beluk angka dari berbagai kepercayaan? Saya meragukannya. Mereka, tim desain Tempo itu, anak-anak muda yang “lurus”, tak pernah saya jumpai pegang buku primbon, apalagi memelototi “Ramalan Romo Gayeng” untuk memasang togel. Saya kira, mereka hanya tak sempat ke Tanah Abang makan sop kambing, lalu kesal dan menulis angka 666. Maklum, langganannya “Bang Kumis 999”. Eh, somasi pun datang, tapi bukan dari Tanah Abang.
(Diambil dari Koran Tempo edisi 23 November 2008)

Selengkapnya

Free Blog Content