Senin, September 29, 2008

Syukur (versi Koran Tempo)

Ada pesan pendek yang masuk ke hape saya. Isinya: “Saya sedang mudik, doakan, mohon maaf lahir bathin.”

Pengirim pesan, sahabat saya: Santo. Ketika saya di Jakarta, dia supir saya. Sudah lazim bagi saya di rantau, semua pembantu rumah, saya jadikan keluarga. Dan saat saya berbulat hati kembali ke kampung menjadi petani, saya berpesan, kekeluargaan jangan sampai putus. Hidup ini adalah roda pedati, kadang kita di atas, kadang kita di bawah. Saat kita ada di atas, jangan lupa dengan yang di bawah, tetap jalin silaturahmi dan saling tolong-menolong.

Ada banyak hari yang bisa dikenang bersama Santo, baik suka maupun duka. Ketika saya membeli mobil bekas karena mobil lama terasa kecil, Santo berkata: “Mobil bekas ini tak pantas untuk bapak. Teman-teman bapak sudah jadi orang semua, ada yang jadi direktur, kepala proyek, mobilnya mewah-mewah. Bapak kok mobil bekas, saya yang malu kalau ketemu dengan teman-teman bapak.”

Saya menjawabnya seperti bergumam karena mengantuk di tengah kemacetan Jakarta. “Santo, bersyukurlah dengan apa yang dikaruniai Yang Maha Kuasa. Kalau kita hanya mampu membeli mobil bekas, syukurilah karena banyak orang yang hanya mampu membeli sepeda motor, mungkin yang bekas pula. Jika kita hanya mampu membeli sepeda motor, bekas atau pun baru, bersyukurlah. Masih banyak yang hanya mampu membeli sepeda. Begitu pun, kalau hanya bisa membeli sepeda, bersyukurlah karena banyak orang yang berjalan jauh di tengah panas dan hujan. Kalau bisanya cuma berjalan, tetaplah bersyukur karena ada orang yang tak bisa jalan, lumpuh sejak kecil atau kecelakaan sehingga duduk di kursi roda. Syukuri semua karunia-Nya, karena sesungguhnya dengan lahir sebagai manusia saja kita sudah istimewa, karena kita tidak lahir sebagai binatang. Manusia diberi pikiran, gunakan pikiran itu untuk memperbaiki diri, bahwa kita belum memperoleh apa yang kita mau, itu adalah ujian. Hidup hanya sekejap, di dunia yang lain, hasil ujian itu yang menentukan di mana ketenangan abadi itu berada….” Saya sudah lupa apalagi yang saya omongkan, atau mungkin saya sudah tertidur di mobil.

Esok paginya, Santo datang dan mencium tangan saya. “Saya semalam menangis. Saya baru sadar kenapa saya selalu tak tenang dalam hidup ini,” katanya. “Ternyata saya tak pernah bersyukur. Tetangga membeli motor, saya marah, kok saya tak punya uang. Teman saya menenggak bir diwarung sambil mengelus cewek, saya gelisah, kok saya tak bisa. Pak Haji bikin pesta untuk perkawinan anaknya, ketika saya kawin kok hanya mengundang tetangga dekat saja. Saya marah, sepertinya saya diperlakukan tidak adil dalam hidup ini. Sholat lengkap, puasa tak pernah batal, kok hidup menderita begini, hanya bisa makan minum dan membeli pakaian. Tapi semalam, ketika pulang, saya lihat ada keluarga pemulung yang makan, maaf, yang dimakan seperti makanan kucing di rumah ini. Kedua anak mereka tak berbaju. Ingat omongan bapak, saya tiba-tiba menjadi orang kaya. Sampai di rumah saya bersyukur: ya Tuhan, ampuni saya, saya ternyata sangat kaya, bisa makan minum beli baju….”

Pesan pendek Santo saya jawab agak panjang: “To, selamat mudik, doa saya menyertai kamu. Belajarlah bersyukur bersama orang-orang desa yang sederhana, hanya di pedesaan itu mata hati kita terbuka bahwa sebenarnya kekayaan materi yang melimpah tak membuat kita tenang. Mungkin itu sebabnya kenapa orang perlu mudik, karena di Jakarta, dalam persaingan mengejar materi, kita tak sempat mengucap syukur. Met lebaran, maaf lahir bathin.”
(Diambil dari Koran Tempo edisi 28 September 2008)

Tidak ada komentar:


Free Blog Content