Sabtu, Oktober 25, 2008

Warung Kejujuran


Sebuah warung yang menjajakan makanan ringan dan rokok ketengan. Tak ada penunggunya. Pembeli bisa mengambil apa saja, lalu membayar sesuai harga.

Anda pasti menduga ini salah satu dari seribu “Kantin Kejujuran” yang sudah didirikan Jaksa Agung Hendarman Supandji. Atau Anda mengira ini “Warung Kejujuran” yang ada di kantor Komisi Pemberantasan Korupsi. Salah besar. Saya lagi bercerita tentang warung di lereng Gunung Batukaru, Bali, tempat pemukiman para petani kopi yang hidupnya begitu sederhana: miskin tidak, kaya juga belum.

Kenapa warung tidak ditunggui? Alasan yang masuk akal adalah karena warung ini hanya “usaha tambahan” di luar usaha pokok sebagai petani kopi yang sangat disibukkan oleh urusan kecil-kecil. Ada alasan yang “kurang masuk akal” bagi kita yang biasa tinggal di kota. Kalau warung ditunggui, pembelinya malah rikuh berbelanja, tak bebas mengambil jajan ini dan itu, tak bebas makan sambil berdiri, sambil duduk, atau sambil buang air kecil. Lagi pula, alasan yang lebih tak masuk akal, jika ada penunggu warung, pembeli dan penunggu warung bisa ngobrol lama-lama, tentu akan mengganggu pekerjaan pokok.

Ajaib bin aneh, pemilik warung mengaku tak pernah rugi. Pembeli, yang tak tahu siapa, tak pernah berutang. Uang dimasukkan ke kaleng bekas kotak biskuit. Kata pemilik warung: “Kalau ada orang mengambil jajan di dalam toples dan tidak membayar, kan sama saja dengan kuluk, hina sekali manusia itu.” Apa itu kuluk? Anjing, dalam bahasa setempat.

Bagaimana kalau orang itu mau hina, disamakan dengan anjing, dan menggasak isi warung? “Ada hukum karma, orang itu akan celaka,” kata pemilik warung itu lagi. Kalau dia tak percaya j hukum karma? “Mustahil di sini, di puncak gunung ini ada pura keramat, orang yang curang pasti celaka. Lihat saja, mana ada petani kehilangan buah kopi, padahal kan ditaruh di pinggir jalan tanpa ditunggui,” katanya lagi.

Warung itu salah satu simbul kejujuran komunitas setempat, yang agaknya mereka saling kenal meski jarang kumpul. Kejujuran yang dilandasi suatu keyakinan kuat (atau ketakutan yang kuat), bahwa berbuat curang akan kena kutuk dari “penghuni puncak gunung”. Selain itu, cap manusia hina yang setara dengan kuluk (anjing), sangatlah memalukan. Kalau itu terjadi hanya tersisa dua alternatif: pergi jauh dan tak pernah kembali lagi, atau bunuh diri. Luar biasa.

Manusia perkotaan banyak yang tak merasa hina meski pun korupsi milyaran rupiah. Koruptor, oleh media massa, sering digambarkan sebagai tikus, konon lebih hina dibandingkan anjing. Toh, “manusia tikus” ini masih sulit diberantas, manusia hina ini masih menghuni departemen, lembaga negara, bahkan lembaga wakil rakyat. Di situ tak dikenal hukum karma, juga tak ada “penghuni puncak gunung” yang ditakuti. Kalau pun hukum karma berjalan, itu “lagi apes”, sementara “penghuni puncak gunung” adalah atasannya yang, “ah, tak mungkin pula jujur”.

Warung Kejujuran yang digagas Jaksa Agung tak usah dicela sebagai mengada-ada atau langkah yang “tak ada arti apa-apa”. Gagasan ini tetap bagus sebagai pembelajaran (dan pembiasaan) menegakkan moral jujur. Namun, ini langkah yang sangat kecil untuk menyelamatkan bangsa dari virus korupsi yang kian merajalela. Tetap diperlukan langkah besar. Tetap diperlukan “penghuni puncak gunung” yang tegas menegakkan hukum positif, tak cuma hukum moral seperti hukum karma. Dan koruptor itu, kalau sudah nyata terbukti, mari kita “hinakan” ramai-ramai. Dia tak lagi manusia, tetapi kuluk. Mau? ***
(Diambil dari Koran Tempo edisi 19 Oktober 2008)

Selengkapnya

Jumat, Oktober 17, 2008

Menggugat RUU Pornografi


Isu ini tak jelas sumbernya. Saat pemerintah sibuk dengan krisis ekonomi, konon, pada 14 Oktober nanti, Rancangan Undang-Undang Pornografi akan disahkan menjadi undang-undang. Orang Bali langsung blingsatan. Hari itu ada persembahyangan di mana-mana. Disebut Purnama Kapat (versi Bali) atau Purnama Kartika (versi India).

Hebat betul rancangan undang-undang yang mengatur “nafsu seksual” ini. Wacana merembet ke masalah agama. Tadi, isunya lahir untuk hadiah umat Muslim. Lebaran lewat, tak terjadi apa-apa. Kini isu berubah, undang-undang disahkan untuk “menjewer” umat Hindu yang ngotot menolak.

Kenapa orang Bali, dari petani yang tak paham mengeja pornografi sampai gubernurnya yang jenderal polisi, menolak undang-undang ini? Banyak alasan, yang tak usah dirinci di sini. Namun yang paling utama (dalam ritual Hindu disebut utamaning utama), soal “penghinaan” itu. Pasal 1 berbunyi (draf edisi 4 September 2008): “Pornografi adalah materi seksualitas…” dan seterusnya. Lalu Pasal 14 berbunyi; “Perbuatan, penyebarluasan, dan penggunaan materi seksualitas dapat dilakukan untuk kepentingan dan memiliki nilai: (a) seni dan budaya (b) adat istiadat dan (c) ritual tradisional.

Penyusun rancangan seolah berkata: “Ritualmu itu sangat primitif, seni budaya dan adatmu itu mengandung pornografi, tapi okelah, aku izinkan untuk dapat dilakukan.”

“Ini kan penghinaan? Padahal adat di Bali dan agama Hindu tak memberi tempat untuk pornografi,” ini kata istri saya. Masalahnya, kriteria porno itu seperti apa, dan untuk mengukur nafsu seksual itu melalui apa, apa ada alat seperti termometer, misalnya?

Seks dalam Hindu wilayah pribadi, namun sakral. Berhubungan seks termasuk wilayah privat. Mau berdiri, rebah, jungkir balik, pakai salto, ciuman pantat (ih, mulai jorok nih), terserah pasangan itu. Tak ada sanksi? “Ada hukumannya, ketika orang itu meninggal dunia, rohnya diadili Sang Suratma. Kalau ada penyimpangan –bukan suami istri atau caranya-- di dunia sana itulah ia memperoleh hukuman yang mengerikan. Wilayah privat ini sanksi hukumnya di agama,” kata istri saya.

Sanksi duniawi dikenakan jika wilayah privat itu dibawa ke wilayah publik. Tapi tak perlu undang-undang baru. “Kalau hubungan seks itu dipertontonkan kena pasal cabul di KHUP, kalau dijepret dan dimasukkan koran kena pasal undang-undang pers, kalau direkam disiarkan televisi, kena undang-undang penyiaran, kalau menggunakan anak-anak kena undang-undang perlindungan anak. Undang-undang ini yang diaktifkan, kok repot-repot buat yang baru, memangnya ada cek yang masuk ke Senayan?”

Waduh, istri saya mulai “terangsang”. Saya jelaskan, mungkin orang Indonesia sudah mulai sulit menahan hasrat seksualnya. Melihat patung orang telanjang hasrat seksnya naik. “Betul, itu porno. Tapi, ada lelaki yang hasrat seksnya juga naik melihat wanita berkerudung tersenyum manis. Apa memakai kerudung itu juga porno?”

“Jangan dipotong dulu,” kata saya. Sekarang banyak buku porno, film porno, termasuk alat peraga porno yang beredar. Gantungan kunci di Bali itu kan porno, alat kelamin laki-laki. “Itu yang dilarang di ruang publik,” istri saya memotong. “Makanya, kalau pun ngebet betul mengejar setoran ingin melahirkan undang-undang, buatlah RUU Peredaran Penjualan Penyebarluasan Materi Pornografi. Yang diatur adalah peredaran barang porno, bukan masalah nafsu dan hasrat yang abstrak itu, apalagi menyinggung budaya, ritual tradisi, dan adat. Perkara cabul-mencabuli sudah diatur undang-undang lain.” Ya, kan?

(Diambil dari rubrik Cari Angin Koran Tempo, 12 Oktober 2008)

Selengkapnya

Free Blog Content