Minggu, September 21, 2008

Bersyukurlah


Pada sebuah pertemuan di pesraman yang topik diskusinya tentang malapetaka yang menimpa bumi ini, seorang remaja menyatakan rasa syukurnya karena Indonesia khususnya Bali jauh dari malapetaka itu.

“Kita tidak kecipratan badai seperti di Amerika, kita tidak mendapat banjir bandang seperti di Banglades, bahkan kita tak mendapatkan lumpur seperti di Sidoarjo. Mari kita bersyukur. Eh, kalau memakai bahasa dengan nuansa Hindu, apa ya bersyukur itu? Seperti orang Islam menyebutkan: alhamdudilah...” demikian remaja ini dengan polos dan terbukanya berkomentar.

Saya langsung memberikan tanggapan: “Kita jangan selalu mencari-cari padanan pada istilah agama lain. Masalahnya sering tak pas. Ya, kalau kita harus mencarinya, mungkin istilah astungkara agak cocok. Nanti kita lihat lagi.”

“Setuju, Guru. Astungkara, Bali masih aman sampai saat ini. Entah nanti setelah pantai dikeruk pasirnya, setelah gunung dibor, apa masih selamat Bali ini,” celetuk remaja yang lainnya.

“Ya, Bali harus kita jaga. Tetapi, apa pun yang terjadi, saya bahagia mendengar kata syukur atau astungkara itu, karena orang yang bersyukur artinya selalu ingat Tuhan,” kata saya. Namun, remaja yang tadi balik bertanya: “Guru, apakah ada kaitan rasa syukur ini dengan kebahagiaan?”

Saya terhenyak sebentar, tak menduga bakal ditanya seperti itu. Lalu saya menjawab: “Kebahagiaan bisa datang dari kerelaan kita untuk meng­ucapkan rasa syukur. Kita harus bersyukur dengan materi yang kita terima. Karena apa? Karena masih ada orang-orang yang tidak diberi materi sebanyak yang kita terima. Materi atau kekayaan tidak terukur besarnya. Kalau kita bisa membeli mobil, bersyukurlah karena banyak orang hanya mampu membeli motor. Kalau cuma punya motor, bersyukurlah karena banyak orang yang hanya mampu membeli sepeda. Kalau kita hanya punya sepeda, bersyukurlah karena banyak orang hanya mampu berjalan kaki. Kalau kita tak punya apa-apa, hanya mampu berjalan kaki, bersyukurlah, karena ada orang yang cacat kakinya sehingga tidak bisa berjalan. Tetapi kalau kaki kita juga cacat, baik sejak lahir maupun kecelakaan, tetaplah bersyukur karena kita masih bisa makan, berpikir, serta masih bisa mengucapkan rasa syukur lewat doa yang tulus. Lihat, ada orang yang lebih menderita, berbulan-bulan dirawat dan hidup atas bantuan orang lain.”

“Jadi, mereka itu bisa disebut kehilangan rasa syukur? Kalau masih ada, atas nama apa ucapan syukur itu, Guru?”

“Bersyukurlah karena kita dilahirkan sebagai manusia. Sarasa­muscaya menyebutkan: Di antara semua makhluk hidup, hanya yang dilahirkan menjadi manusia sajalah yang dapat melak­sanakan perbuatan baik ataupun buruk; leburlah ke dalam perbuatan baik segala perbuatan yang buruk itu, demikianlah gunanya menjadi manusia. Karena itu, syukurilah lahir menjadi manusia, meskipun kelahiran yang tidak sempurna. Lahir menjadi manusia sungguh utama, karena ia dapat menolong dirinya dari keadaan samsara, lahir dan mati berulang-ulang, dengan jalan berbuat baik. Maka, syukurilah kehidupan ini, dan hanya orang bersyukur merasakan kebahagiaan. Astungkara, kita lahir sebagai manusia, bukan dilahirkan sebagai jelati.”

7 komentar:

I Putu Adi Saputra mengatakan...

om swastyastu jero,

kalo bibir kita sudah mngucap kata syukur,
tetapi hati dan pikiran kita masih mengharapkan ini dan itu (kesejahteraan, kehidupan yang layak, kesehatan, kebahagiaan yang lebih besar lagi),

apakah itu bisa disebut ungkapan syukur yang tulus ??
ato justru rasa syukur yang palsu ??

mohon pencerhannya,
matur suksma,

adi.

candra mengatakan...

Maaf Pak Putu kalau saya salah....

Menurut saya Astungkara itu bukannya lebih tepat dengan InsyaAllah...

Bismillah itu dengan Om Awignam Astu Namo Siddam.....dan

Alhamdulilah itu dengan Om Dewa Suksema Parama Cintya Ya Namah Swaha.....

suksema, mohon petunjuk.....

Anonim mengatakan...

Matur Suksma...Mangkin saya sampun mendapatkan ilmu yg berguna agar selalu bersyukur dalam kehidupan ini,,,
Untuk Pak Candra==saya juga setuju dengan pak Candra,,,

--------note-------:
masukan2 dan sharing antar umat se-Dharma sangatlah penting demi mewujudkan kesejahteraan akan ilmu Ke-agama-an kita bersama,,,,,,,,
Om shanti Shanti Shanti Om.

Eka mengatakan...

Menurut saya syukur itu belum lengkap. Dia akan lengkap bila ada "Ikhlas". Nah dua hal ini yang sulit sekali dipraktekkan. Bisakah kita misalkan ikut tender lalu kemudian setelah kita masukkan dokumen tendernya kita ikhlas dengan hasilnya? Ini yang sulit. Terlebih lagi untuk iklhlas saat kita ditinggal orang orang yang kita cintai atau kehilangan yang kita miliki.

Tapi dari pengalaman saya, rasa syukur akan hadir manakala ada kekhlasan akan kuasa Sang Hyang Widhi untuk menentukan apapun hasilnya. Sekalipun itu menyakitkan dan tidak masuk akal. Karena itulah pahala terbaik. Entah itu sebagai penebusan dosa bila hasilnya negatif. Atau sebuah hadiah bila hasilnya positif.

Berpikir dalam kerangka ikhlas dan syukur ini seringkali membantu saya meringankan beban emosi. Om loka samastha sukino bhavantu.

Anonim mengatakan...

Om svashtiastu
Sata bangga melihat kemajuan Hindu di tanah ini
Semoga Sang Hyang Widhi Wasa selalu memberkati kita...
Om shanti shanti shanti om.

Nika san mengatakan...

Om swastyastu pak, saya mau bertanta kalau Astagfirullah dalam hindu itu gimana ya ?

Suksme

Nika san mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

Free Blog Content