Keputusan Jusuf Kalla (JK) pisah dengan Soesilo Bambang Yudhoyono membuat girang Romo Sugeng – begitulah lelaki ini saya panggil dengan akrab. Romo yang usianya sudah kepala tujuh tetapi masih berani makan tongseng kambing ini, bukan partisan partai. Ia petani, tapi lahan pertaniannya disewakan untuk perkebunan teh. Ia kerap saya temui di warung tongseng Bang Jarot yang terkenal di Desa Kemuning itu, desa terdekat sebelum menanjak menuju Candi Ceto di Gunung Lawu, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah.
“Seandainya JK masih berkoalisi dengan SBY, pertandingan tidak seru, karena yang menang sudah jelas. Ibarat Barcelona melawan Perseketos (persatuan sepakbola Kemoning – Ceto dan sekitarnya). Kan sempat muncul istilah boikot pemilihan presiden, tak mengajukan calon, bahkan ada usul supaya dikaji dasar hukum untuk jaga-jaga kalau ternyata calon presidennya tunggal, seperti di zaman Harto,” ujar penggemar bola dan penggila Lionel Messi ini
“Jadi, Romo akan memilih JK ketimbang SBY?” tanya saya asal-asalan.
“Lo, belum ke sana. Sampeyan nggak ngerti politik, sih. Posisi JK itu sekarang, baru pada mencairkan kembali semangat untuk bertanding yang tadinya sempat loyo. Dengan cerainya JK pada SBY, partai lain menaruh harapan untuk disambangi JK. Sebaliknya, JK pun bersemangat untuk mendatangi. Kalau JK berhasil membangun kekuatan, kan yang memilih jadi bersemangat karena hasilnya tidak pasti. Seni dalam memilih itu adalah jika kita tak bisa memastikan hasil akhirnya. Ketidak-pastian ini, seperti dialami para petaruh, memunculkan kegairahan.”
“Apa JK punya kekuatan, Romo?” tanya saya, masih asal-asalan.
“Dia kan pengusaha, jadi awalnya non-birokrat, lalu non-militer, kemudian non-Jawa. Non-non ini akan membuat pemilih untuk main coba-coba…”
“Romo, ini saya tak setuju, memilih pemimpin kok coba-coba, taruhannya bangsa Romo,” kata saya memotong.
“Lagi-lagi sampeyan tak tahu politik para pemilih,” kata Romo agak keras. “Sampeyan kemarin bilang, di Bali ada pelawak yang hanya cengangas-cengenges di panggung bisa meraih kursi di Senayan, mengalahkan para politikus karatan. Itu artinya, pemilih bosan dikibuli para politikus selama ini. Nah, apa bedanya dengan bangsa? Puluhan tahun dipimpin militer, berpuluh tahun dipimpin orang Jawa, berbilang tahun dipimpin birokrat tulen, hasilnya begini-begini saja. Coba pilih yang lain, jangan-jangan lebih bagus. Pergilah sampeyan ke Sulawesi, Kalimantan, Papua, Flores, pemikiran seperti ini berkembang.”
Saya diam, bukannya setuju, tetapi rikuh mendebat. Romo melanjutkan: “Kekuatan JK lainnya, ia dipojokkan dengan basa-basi khas Jawa, lalu mencuat harga dirinya. Ia sebenarnya ditolak mendampingi SBY kembali, tetapi pihak SBY berdalih: mbok sodorkan nama lebih dari satu. Ia tak diharap menghadiri rapat kabinet, tetapi dalihnya: kalau sibuk nggak usah ikut rapat. Kenapa tak berjelas-jelas saja? Dalam kasus ini, ada istilah ‘politik Inul’ yang pernah pula dinikmati SBY pada pemerintahan Mega. Pada saat seseorang dilecehkan --seperti Inul dilecehkan Rhoma Irama-- pada saat itulah simpati berhamburan datang.”
Saya merasa lebih baik diam, sehingga Romo nyerocos lagi: “Kelemahan JK, jika ia tak berhasil memimpin koalisi, lalu tetap hanya jadi orang nomor dua, maka tamatlah dia. Siapa pun orang pertamanya, kemungkinan koalisi itu menang melawan SBY sangat tipis.”
Saya ternganga, lalu permisi. Di lereng Gunung Lawu yang beraroma magis ini, sulit membedakan antara pengamat, peramal, paranormal, atau orang lagi stress.
(Diambil dari Koran Tempo 26 April 2009)
Selasa, April 28, 2009
Jusuf Kalla
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar