Kamis, Mei 07, 2009

Pemimpin

Ada kebiasaan baru yang tanpa saya tahu sejak kapan mulai. Yakni, setiap malam sebelum tidur, saya menganalisa informasi yang saya terima hari itu. Caranya sangat sederhana dengan mengajukan pertanyaan dalam hati: percaya akan kebenarannya atau tidak. Tentu ada alasannya, namun lebih banyak alasan itu berdasarkan wawasan saya yang dangkal. Maklumlah, saya bukan pengamat, juga bukan peramal.

Supaya lebih jelas, saya beri contoh. Saya tak percaya kalau Ibu Megawati akan mundur dari pencalonan presiden untuk memberi kesempatan pada kader-kader yang lebih muda. Ada kabar yang disampaikan oleh teman-teman (bukan kabar burung karena teman saya itu manusia), kalau Ibu Mega “mengalah” sehingga koalisi besar akan memunculkan calon presiden baru. Saya percaya Ibu Mega tetap akan bertarung, meski pun survey menyebutnya kalah.
Contoh lain, saya tak percaya kalau Soetrisno Bachir (SB) akan berani mengkhianati Amien Rais, seniornya. Pengkhianatan itu, misalnya, dengan menerima bujukan Prabowo untuk mendampinginya sebagai calon wakil presiden, padahal Mas Amien sudah jelas, gabung ke SBY. Analisa saya, ketika SB sedang merintis usahanya di Pekalongan dan saya masih jadi “gelandangan” di Jawa Tengah, saya mengenal SB orang yang santun. Apalagi Ibundanya menasehati, jangan berseberangan dengan Mas Amien. Apakah kesantunan ini kalah oleh ego kekuasaan?
Contoh lain lagi, saya tak bisa percaya kalau SBY akan mengandeng kader PKS sebagai wakilnya. SBY akan kehilangan pemilih nasionalis, pluralis, yang menjunjung kebhinekaan, karena kesan yang ditampilkan PKS adalah menegakkan syariat Islam. Analisa saya, SBY bisa terjungkal kalau salah pilih wakil.
Tentu saya minta maaf jika alasan dan analisa saya memang dangkal. Terbukti sering salah. Misalnya, suatu malam saya pernah tidak percaya kalau Wiranto mau menjadi calon wakil presiden mendampingi Jusuf Kalla. Jendral kok jadi wakil seorang pengusaha. Nah, ternyata sang jendral dengan tegas telah mendeklarasikan diri sebagai calon wakil presiden. Meski saya salah, saya sungguh bersyukur dan merasa “bersemangat” untuk ikut Pemilihan Presiden (ketika Pemilu Legislatif saya “kurang semangat”). Kenapa? Karena tiba-tiba saya ingat, pada 1994, ketika Wiranto menjabat Kastaf Kodam Jaya, beliau memanggil saya pukul enam pagi untuk mendiskusikan “bagaimana mempertahankan NKRI”. Saat itu saya “terlanjur” menjabat Ketua Umum Forum Cendekiawan Hindu dan kebetulan situasi politik ketika itu lagi hangat dengan “sekat-sekat primordial”.
Sebagai orang yang suka keluyuran di Nusantara (kalau keluar negeri tak punya ongkos dan takut kena flu babi), keutuhan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) menjadi dambaan saya. Dalam bahasa politisi “ini harga mati”, dalam bahasa almarhum Gombloh “merah darahku, putih hatiku”. Artinya, koalisi apapun yang dilahirkan partai politik, koalisi besar atau kecil, bangsa yang bhineka tunggal ika harus tetap utuh, atau mengutip lagu Coklat: “merah putih teruslah berkibar… “
Saya percaya tentang keutuhan Indonesia yang bhineka itu. Namun, tetap tergantung figur yang memimpin negeri ini. Masalahnya tidak banyak stock pemimpin yang, kalau dadanya dibelah, ada merah putih di sana. Apalagi ditambah bermoral dalam arti luas. Contoh kabar terakhir, Ketua KPK Antasari Azhar menjadi tersangka pembunuhan, hanya karena cewek. Saya sudah membulatkan hati untuk tidak mempercayai kabar ini, supaya ada pemimpin yang masih saya hormati. Tapi kan saya sering salah. Sangat memprihatinkan.

Koraan Tempo 3 Mei 2009)

Tidak ada komentar:


Free Blog Content