Suatu ketika, selesai saya bersembahyang di sebuah pura, saya memasukkan dana punia di kotak yang telah disediakan. Keponakan saya bertanya: “Untuk siapa dana punia itu? Kan tidak ada orang yang menjaga kotak itu?”
Saya jawab: “Kotak itu dijaga oleh Tuhan. Uang saya pun juga untuk Tuhan, supaya Tuhan punya utang sama saya.” Entah anak ini mengerti atau tidak, ia tak lagi bertanya.
Beberapa bulan kemudian, saya bersama dia datang ke Pura Dalem Puri di Besakih saat piodalan. Di sini, banyak umat memberikan dana punia. Ada panitia yang mencatat dan kemudian diumumkan namanya. Konon ada kebanggaan nama itu disebut dan didengar oleh banyak orang. Saya juga memberikan dana punia, dan dicatat oleh panitia.
Keponakan saya seperti orang bengong karena perhatiannya tertuju pada pengeras suara. Sampai akhir pembacaan nama-nama penyumbang pada sesi itu, ia tak mendengar nama saya disebut. “Kok sumbangan Paman tidak diumumkan?” Saya jawab: “Sudah diumumkan, kan saya memakai nama asal-asalan. Orang tak perlu tahu nama saya, tapi Tuhan sudah pasti tahu. Yang penting sekarang Tuhan punya utang sama saya.”
Keponakan saya masih penasaran. “Kalau begitu, sudah berapa banyak Tuhan berutang pada Paman?” “Utang-utang Tuhan yang dulu semuanya sudah dibayar lunas, bahkan pakai bunga segala. Utang Tuhan sekarang ini, ya, sebesar yang saya puniakan tadi,” kata saya.
Karena keponakan saya diam, saya jelaskan panjang lebar. Setiap saya memberikan dana punia, ada saja karunia Tuhan yang saya dapatkan. Rejeki saya tak pernah seret dan itu selalu saya syukuri betapa pun kecilnya. Orang sering bimbang, bagaimana berdana punia kalau tak ada uang, beri dulu dong rejeki. Orang-orang semacam ini, meski pun diberi rejeki berlimpah, tetap akan pelit berdana punia. Dia bisa berkata, “gaji saya hanya sejuta, bagaimana bisa menyumbang?” Ketika bulan depannya gaji naik lima juta, dia tetap berkata: “baru lima juta, kebutuhan saya kan banyak”. Bahkan ketika dia dapat rejeki tambahan di luar gaji, tetap tidak melaksanakan dana punia, padahal ini jelas “ujian Tuhan”. Nah, kok Tuhan diajak main-main.
Saya berkali-kali menerima anugrah Tuhan yang tak pernah saya pikirkan sebelumnya. Suatu kali saya “setengah ditodong” Rp 5 juta untuk perbaikan pura. Karena “todongan” itu dilaksanakan dalam pertemuan di pura, saya terima. Di dompet ada sekitar satu juta uang. “Saya siap, uangnya minggu depan,” kata saya. Dalam perjalanan pulang, saya mampir ke tempat seorang Sulinggih. Ternyata beliau sakit, saya pun membelikan obat-obatan dulu. Pulang ke rumah, yang saya pikirkan adalah bagaimana mencari uang, apa yang akan dijual. Saya tak punya tabungan lagi, uang sudah habis untuk membeli gamelan gong kebyar. Rupanya kegelisahan saya “dipantau” Tuhan. Sampai dirumah dan membuka email, dari email dari Seiichi Okawa di Tokyo. Isinya: “Buku Menggugat Bali edisi Jepang dicetak ulang yang ketiga, royalty sudah saya transfer ke bank bapak.” Rasanya saya seperti menangis terharu, tak pernah membayangkan rejeki itu, saya sudah melupakan buku itu pernah dicetak di Jepang. Saya sembahyang dan membayangkan Tuhan sebagai sahabat saya (Tuhan bisa diposisikan sebagai apa saja), lalu saya berucap: “Hyang Widhi, Kamu kok nggak mau saya utangi.”
Konsep dana punia dalam Hindu adalah menyerahkan sebagian kekayaan yang ada untuk makhluk Tuhan. Karena makhluk ciptaan Tuhan itu banyak sekali, ada manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, biarkanlah Tuhan yang mengaturnya, kepada siapa diberikan. Tuhan tentu menciptakan “alat” di dunia ini, boleh jadi berwujud panitia piodalan, sehingga hasil dana punia dipakai untuk piodalan atau memperbaiki pura. Mungkin saja “alat” itu bernama Lembaga Panti Asuhan, Lembaga Jompo, bahkan “alat” yang diciptakan Tuhan itu bernama Badan Dharma Dana Nasional. Lembaga ini tak akan berdiri tanpa campur tangan Tuhan. Nah, dana punia disalurkan oleh “alat-alat” yang diciptakan Tuhan itu, sesuai bidangnya. Karena itu, kalau kita menyumbang uang ke Lembaga Panti Asuhan jangan berharap uang itu akan dipakai memperbaiki pura.
Apa perlu dana punia dicatat? Perlu, dalam arti sebatas untuk bahan pertanggungan-jawab panitia atau lembaga atau “alat” ciptaan Tuhan itu. Meski perlu dicatat, tidaklah harus pemberi dana punia mencatatkan namanya, apalagi dimaksudkan untuk diumumkan atau dipamer-pamerkan. Memberi dana punia bukan untuk tujuan pamer. Kalau dipublikasikan tanpa niat pamer (supaya Istri tahu kemana uangnya Bapak), bolehlah. Ada seorang tokoh (sekarang jadi calon wakil rakyat) memberi dana punia kepada Panitia Pembangunan Pura dengan mengundang televisi swasta untuk peliputan. Biaya yang dihabiskan untuk peliputan Rp 3 juta, padahal dana punia yang disumbangkan itu hanya semen yang nilainya tak lebih dari Rp 2 juta.
Kenapa saya memberikan dana punia? Karena saya merasa kaya. Lo, mobilnya bekas, bajunya murah, kok mengaku kaya? Karena ada orang yang hanya punya motor bekas, bajunya robek, jadi saya lebih kaya. Lalu, pada saat yang punya motor bekas itu memberi dana punia, meskipun hanya seribu rupiah di pura (jangan menghitung besarnya dana punia, hitunglah ketulusannya), itu pasti karena dia juga mengaku kaya. Karena ada orang yang tak punya motor, jalan kaki ke mana-mana tanpa baju.
RgWeda X 117.5 menyebutkan: “Orang yang punya kekayaan harus bermurah hati untuk memberikan sebagian kekayaannya kepada orang miskin. Dia harus melihat jalan kebajikan yang menguntungkan ini.” Ukuran “kaya” dan “miskin” hendaknya tidak dilihat dari jumlah harta. Ada orang yang hartanya berlimpah-limpah, tetapi dia selalu merasa “miskin” dan jarang memberikan dana punia. Orang ini pasti gelisah dengan kakayaanya, karena tidak tahu ada “jalan kebajikan” itu.
Bahkan orang itu tak ubahnya sebagai “mayat hidup”. Ini kalau kita percaya pada ajaran Hindu. Kitab Sarasamuscaya sloka 179 menyebutkan: Yasya pradanavandhyani dhananyayanti yanti ca, sa lohakarabhastreva evasannapi na jivati. Saya menerjemahkan sloka itu dengan puitis: “Mereka yang punya kekayaan tetapi tidak berdana punia, mereka ibarat orang mati. Hanya karena mereka masih bernapaslah yang membedakannya dengan mayat.”
Mari berdana punia sebelum kita menjadi mayat.
Kamis, April 02, 2009
Supaya Tuhan Punya Utang
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar