Selasa, April 21, 2009

Terburuk

Politisi yang kalah pada Pemilu 9 April, plus para tokoh yang nafsu besar berkuasa tapi tidak punya partai, berkumpul di rumah Ibu Megawati. Salah satu kesepakatannya, Pemilu 9 April lalu adalah Pemilu terburuk sepanjang era reformasi. Kesimpulan itu diiyakan juga oleh mantan wakil Presiden Hamzah Haz.

Saya sepakat soal ini. Tak ada yang perlu dibantah.


Pemilu yang lalu membuat capek banyak orang. Calon legislator capek bukan main, bahkan ada yang nekad ingin istirahat selamanya, misalnya, gantung diri. Petugas Pemilu, dari panitia pemungutan suara sampai anggota komisi pemilihan umum, pasti capek juga. Pimpinan partai lebih capek lagi, mondar-mandir menawarkan koalisi.

Saya, yang mujur tidak menjadi calon legislator, juga capek. Mata capek melihat tabulasi suara di televisi yang tak beranjak naik. Kuping capek mendengar politisi yang saling tuduh lewat radio. Jadi, saya sepakat soal capek itu.

Pemilu direkayasa untuk kemenangan partai tertentu. Daftar pemilih tetap yang amburadul disengaja untuk menggelembungkan Partai Demokrat. Karena itu Pemilu harus digugat, tidak sah, dan perlu diulang. Ini pendapat sejumlah tokoh, bahkan tokoh yang pernah saya kagumi karena sempat menyebut diri calon presiden alternatif.

Saya, dengan mengurangi rasa hormat, tidak sepakat. Saya langsung mencoret sejumlah tokoh idola dalam memori otak saya.

Menjelang Pemilu, saya banyak di Bali dan di eks Karesidenan Surakarta, kadang di Solo kadang di Karanganyar. Orang-orang yang tak terdaftar di daftar pemilih tetap atau yang tak menerima surat panggilan mencontreng, kesal benar dengan “pemerintah”. “Pemerintah” disebut memihak partai besar, yaitu Partai Banteng Gemuk dan Partai Beringin. Lo, kenapa partai itu jadi tersangka? Maklum, yang jadi Bupati adalah kader PDI P dan Golkar. Bahkan di Bali, gubernurnya ikut kampanye PDI P. Bukankah dari “pemerintah” itu sumber daftar pemilih tetap yang amburadul? Maka, kader partai biru meradang, sedang kader partai merah dan partai kuning, tenang-tenang saja.

Eh, setelah Pemilu, terjadi keajaiban. Yang memprotes daftar pemilih tetap justru sebaliknya. Artinya, protes dan tidak memprotes, hujat dan tidak menghujat, tergantung siapa yang kalah dan siapa yang menang. Partai menang sudah nasibnya jadi tersangka dan partai kalah tak perlu malu untuk jadi penuntut.

Pemilu yang buruk, memang disepakati. Tetapi, buruk rupa Pemilu jangan cermin bangsa dibelah. Sistemlah yang membuat Pemilu jadi rumit, bertele-tele, dan amat mahal. Sistem lahir karena tuntutan undang-undang. Contoh kecil, pemilih harus terdaftar. Padahal kalau mau gampang, pemilih tinggal menyodorkan kartu tanda penduduk. Bukankah dengan KTP ber-NIK (nomor induk kependudukan) yang oleh orang desa disebut “KTP Nasional” tidak memungkinkan (teorinya) ada seorang memiliki dua KTP? Kalau pun ada – maklum masih ada desa yang tak punya komputer online dan banyak orang kota yang nakal – bukankah ada “tinta Pemilu” yang mencegah orang memilih dua kali? Tinggal pengawasan.

Yang gampang itu dipersulit oleh undang-undang. Ini hanya satu contoh, banyak contoh lain. Lalu siapa yang membuat undang-undang itu? Ya, wakil rakyat yang ditentukan oleh partai. Jadi, kalau Pemilu ini buruk, yang sesungguhnya buruk itu adalah orang-orang partai di Senayan.

Mari perbaiki dari pangkalnya, jangan menuduh, apalagi memprovokasi dengan wacana Pemilu tak sah atau perlu diulang. Rakyat, yang makin pintar, siap menghukum tokoh provokator. Saya, sebagian dari rakyat itu, meski pun tak cukup pintar.



Tidak ada komentar:


Free Blog Content