Galungan artinya kemenangan. Dungulan juga berarti kemenangan. Umat Hindu memiliki ajaran yang luhur untuk merayakan kemenangan. Menang di mana dan menang melawan apa? Apakah menang di meja judi atau di sabungan ayam? Atau di pertandingan sepakbola yang rusuh dan penuh pelanggaran? Atau menang di Pemilu yang penuh kecurangan dengan menyisakan korban rakyat-rakyat yang terkapar karena membela simbol partai?
Tidak sembarang kemenangan, tentu saja. Yang dirayakan adalah kemenangan dharma. Dharma kalau disederhanakan artinya kebenaran. Jadi, menangnya kebenaran itulah yang dirayakan oleh umat Hindu. Sepintas seperti aneh, bukankah kebenaran itu semestinya selalu menang? Kalau kita hidup di zaman Satya Yuga atau Treta Yuga, barangkali betul. Tetapi ini era Kali Yuga, zaman penuh kegelapan, yang menang itu belum tentu yang benar. Para “penentu kebenaran” sudah direcoki oleh virus-virus angkara murka, kelobaan, kedengkian, iri hati, dan sifat buruk lainnya yang bertentangan dengan dharma. Itulah sifat-sifat adharma. Wasit bisa memihak, hakim dan jaksa bisa disuap. Bahkan pada diri kita sendiri bersemayam sifat-sifat adharma. Ketika anak kita belum mendapat pelayanan yang baik di rumah sakit, kita menempeleng perawat. Ketika seorang calon legislatif merasa disaingi calon lain, ia menyuruh orang untuk membakar baliho lawan, jika perlu membawa pedang terhunus, main tebas. Adharma bercokol dalam diri kita sendiri, besar dan kecilnya bervariasi.
Nah, sifat adharma itulah yang harus kita kalahkan. Kita awali dengan niat yang suci, melakukan pembersihan diri, baik dengan tapa, japa, brata yang dalam bahasa sekarang bisa kita sebut “tekad untuk berbuat suci”. Umat Hindu di Bali menyediakan hari yang disebut Sugian Bali dan Sugian Jawa, itulah hakekat pensucian diri.
Ketika segala yang kotor itu bisa kita bersihkan, mari kita belenggu keingingan jahat (adharma) kita. Leluhur kita di Bali mengenal Hari Penyekeban dilanjutkan Hari Penyajaan (di beberapa tempat disebut Pengejukan), itulah saatnya kita membelenggu nafsu jahat kita. Pada akhirnya segala yang jahat dan kotor kita musnahkan, kita “sembelih” sifat-sifat hewani buruk yang ada pada diri kita. Itu disebut Hari Penampahan. Jika semua tahap itu bisa kita lakoni dengan baik, pada Rabu Keliwon Wuku Dungulan semuanya itu kita syukuri sebagai kemenangan dharma. Inilah Galungan yang sejatinya.
Kita selalu memaknai Galungan tanpa pernah mencari apa arti di balik simbol-simbol yang diciptakan oleh leluhur kita ini. Kita sudah letih “jalan di tempat” dan tak pernah maju-maju dari jebakan ritual. Ritual memang perlu, tetapi bukan berhenti di sana. Ribuan babi disembelih orang Bali pada saat Penampahan Galungan, ribuan penjor berdiri di pinggir jalan, ratusan pura dikunjungi dan dihaturkan sesajen saat Galungan, tetapi apakah dharma sudah menang, apakah sifat-sifat adharma sudah berkurang? Lihat di sekeliling kita, umat Hindu bertengkar soal kuburan, alam Bali diperkosa dari pantai sampai gunung, berbeda partai saling bacok. Lalu apa arti merayakan Galungan kalau adharma tak pernah berkurang?
Galungan memang tak ada dalam kitab suci Weda. Namun, merayakan kemenangan dharma melawan adharma, yang pada hakekatnya adalah ajaran untuk selalu berbuat yang “benar”, menghiasai banyak sloka-sloka suci Weda. Karena Hindu menyebar di dunia dengan memberi keleluasaan untuk menyerap budaya lokal, maka “perayaan dharma” ini berbeda bentuknya. Perayaan itu pun kemudian dicarikan simbol-simbol lokal untuk lebih membumi, sehingga masyarakat yang awam mudah untuk menghayatinya.
Di India, misalnya, kemenangan dharma itu dirayakan dua kali setahun. Di bulan April (Waisaka) dirayakan dengan sebutan Wijaya Dasami. Simbol yang diambil adalah kemenangan Dewi Parwati mengalahkan raksasa Durgha yang bersembunyi di dalam tubuh Mahasura. Hari raya ini juga disebut Durga Nawa Ratri. Kemudian di bulan Oktober (Kartika) simbol yang diambil adalah kisah kemenangan Rama atas Rahwana. Perayaan ini disebut Rama Nawa Ratri. Inti dari kedua perayaan itu sama, bersyukur dan bersukaria atas kalahnya adharma, dan dirayakan sepuluh hari.
Barangkali untuk “menyesuaikan” dengan India di mana agama Hindu lahir, leluhur kita di Bali juga merayakan kemenangan dharma dua kali setahun, meski tak persis dengan tahun Masehi, karena perhitungan yang dipakai adalah wariga, bukan sasih. Dan perayaan yang disebut Galungan ini dijatuhkan pada Rabu Kliwon Dungulan, lalu ditutup dengan Hari Raya Kuningan, yang juga berjarak 10 hari.
Umat Hindu di Jawa sebaiknya juga merayakan Galungan. Dalam Kidung Panji Amalat Rasmi dan Kidung Pararaton, disebutkan pernah ada perayaan kemenangan dharma di zaman Majapahit pada wuku Dungulan. Seperti diketahui, wariga yang ada di Bali sumbernya adalah di Jawa, semuanya sama. Masalahnya mungkin – ini perlu dikaji—leluhur kita di Bali mengkaitkan perayaan Galungan itu dengan mitos Mayadenawa. Sampai saat ini, masyarakat Bali terjebak pada mitos itu. Padahal tak ada prasasti apapun tentang Mayadenawa yang dikaitkan dengan Galungan, kecuali karya sastra yang sifatnya fiksi. Yang ada adalah prasasti yang menyebutkan, orang Bali “lama sekali” tak merayakan Galungan, dan perayaan itu baru dibuat rutin kembali sejak tahun 1126 ketika Bali diperintah Sri Jayakusunu. Dikaitkannya Galungan dengan legenda Mayadenawa membuat Galungan menjadi “bali sentris” dan barangkali ini membuat umat Hindu non-Bali kurang sreg merayakan kemenangan dharma pada saat Galungan ini.
Ke depan kita harus lebih banyak lagi menelaah ajaran Hindu berdasarkan sastra dan tatwa. Bagi umat Hindu non-Bali, kalau memang tak sreg merayakan kemenangan dharma bersama-sama orang Bali, silakan membuat perayaan sendiri pada hari yang berbeda. Seperti halnya di India, ini menunjukkan Hindu begitu universal, ibarat taman dengan beragam bunga yang indah. Adapun bagi umat Hindu di Bali, mari kita rayakan Galungan dengan mencari inti filsafahnya, membunuh sifat-sifat adharma untuk kemenangan dharma, dan mensyukuri kemenangan itu.
Suksesnya perayaan Galungan seharusnya bisa dilihat dari masyarakat yang lebih tentram dan damai, bukan banyaknya orang mabuk di balai banjar yang disulap jadi bar. Lebih-lebih Galungan di tengah-tengah masa kampanye Pemilu. Kalau ketenangan masyarakat Bali terusik menjelang dan setelah Pemilu ini, maka Galungan sudah gagal total, tak ada gunanya penjor dan sesajen itu, karena adharma yang tetap menang. Selamat Hari Raya Galungan, untuk Anda yang bisa mengalahkan adharma.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar