Kamis, April 02, 2009

Nyepi

Tak disangka, saya mendapat ucapan “Selamat Hari Raya Nyepi” dari teman Facebook yang berada di Kota Manado. Akhir ucapannya begini: "Saya akan mengikuti nyepi malam Minggu ini, semoga bermanfaat untuk mengurangi pemanasan global."


Nyepi di malam Minggu? Oh ya, saya ingat imbauan yang ditayangkan di televisi, masyarakat yang peduli terhadap pemanasan global diharapkan mematikan lampu pada Sabtu, 28 Maret, pukul 20.30 selama satu jam. Pasti hal ini yang disebut "nyepi" oleh teman saya. Saya pun berjanji akan mengikuti hal itu.


Apakah Anda ikut memadamkan lampu selama satu jam semalam? Atau lebih dari satu jam? Atau lupa karena masih asyik menyaksikan acara "pertengkaran" di televisi: tentang daftar pemilih tetap yang amburadul, tentang calon legislator yang berulah aneh, tentang artis yang bertekad bulat menjadi politikus? Saya tentu akan salut kepada mereka yang ikut memadamkan lampu, toh televisi bisa dihidupkan, karena "televisi bukan lampu". Lagi pula padamnya lampu tak lama, persis seperti judul lagu pop, "satu jam saja".


Tapi, sahabatku, memadamkan lampu sekejap itu tentu bukan "nyepi" sebagaimana Nyepi yang dilaksanakan oleh umat Hindu yang taat. Nyepi bagi umat Hindu bukan hanya tidak menyalakan lampu, tapi juga tidak menonton televisi, tidak mendengarkan radio, tidak mendengarkan musik, tidak bepergian, tidak bekerja. Sekali lagi, ini bagi yang taat, karena lumrah ada saja umat yang tidak taat.


Nyepi itu ritual agama yang tidak terkait dengan pemanasan global dan penghematan energi. Bahwa belakangan banyak orang mengait-ngaitkan ritual itu dengan kebersihan udara, penghematan energi, langit yang semakin biru, dan sebagainya, anggap itu sebagai efek samping yang positif.


Lalu, untuk apa Nyepi? Ini adalah awal tahun Saka untuk suatu perenungan total, apa yang telah kita kerjakan selama setahun, apa yang salah, apa yang kurang, agar di tahun yang datang semuanya bisa diperbaiki. Nyepi adalah berhenti sejenak, stop melangkah. Diperlukan keheningan selama 24 jam untuk melakukan koreksi total. Langit pun gelap tanpa bulan.


Perenungan total dan introspeksi diri, saya kira, ada dalam berbagai agama, tentu dengan variasinya sendiri. Semua orang, apakah dia politikus atau pedagang atau makelar--profesi yang kini campur-baur--ataukah dia guru yang sekaligus tukang ojek, perlu "berhenti melangkah sejenak", lihat ke belakang apa yang salah, agar tidak terantuk pada batu yang sama.


Jika semua tokoh bangsa merenung dan melakukan introspeksi, dan kemudian bertekad bulat mengabdi kepada masyarakat, kenapa harus bertengkar? Kalau tujuannya sama, menyejahterakan masyarakat dan mengentaskan masyarakat dari kemiskinan, perbedaan yang terjadi mestinya pada "dengan cara apa berbuat". Artinya, perbedaan itu bisa dimusyawarahkan. Cuma memang, untuk musyawarah, perlu silaturahmi, perlu bincang-bincang.


Sekarang situasi di Tanah Air sangat riuh, jauh dari nyepi yang intinya sepi. Padahal semua tokoh mengucapkan kata yang sama, yakni, "perubahan". Ada yang bilang: "Sambut perubahan tahun 2009, dukung kami." Yang lain berkata: "Kita perlu perubahan, bergabunglah.” Yang lainnya lagi berseru: "Kita sudah lakukan perubahan, lanjutkan." Bahkan ada yang membangun "rumah perubahan". Kata yang sama, tapi diucapkan dengan nada perlawanan terhadap pihak lain.


Coba renungkan satu jam saja--tanpa atau dengan mematikan lampu-- apakah perubahan itu selalu bagus? Yang dibutuhkan adalah "perbaikan", bukan "perubahan". Saya imbau para politikus menyepikan diri sejenak, agar tak makin menyebalkan.***
29 Maret 2009

Tidak ada komentar:


Free Blog Content