Senin, Mei 11, 2009

Rani

Saya tidak sedang menulis Rani, atau nama lengkap di kartu tanda penduduknya, Rhani Juliani. Mantan caddy golf yang menjadi wanita terpopuler saat ini karena kasus pembunuhan Nasrudin itu, tidak saya kenal. Bagaimana saya menulis orang-orang yang tidak saya kenal?

Tapi saya mengenal beberapa orang yang dipanggil akrab Rani. Dari penulis fiksi, penyanyi, aktifis pers kampus, tentu dengan nama lengkap yang berbeda. Salah satunya adalah Sutirani, gadis asal Temanggung, bekas tetangga saya sewaktu saya tinggal di Sidoarum, Godean, Yogyakarta.


Rani Temanggung ini begitu tamat SMA tidak melanjutkan sekolah karena tak ada biaya, barangkali mirip Rani Tangerang di awal-awalnya. Ia ikut Bu De-nya ke Yogya, kursus memijat beberapa hari, lalu menjadi gadis pemijat di sebuah “panti pijat tradisional”. Tak sampai sebulan ia bertahan, banyak hal yang ia keluhkan pada saya. Belakangan saya dengar dia menjadi pramuria – sebutan keren pelayan – di toko Sami Jaya, kawasan Malioboro. Entah sekarang.

Kenapa saya sering ingat Rani? Ia pernah berkeluh, seorang pria setengah tua, suatu hari menjadi “pasiennya”. Setelah waktu habis, Rani mengingatkan pijatan sudah selesai. Pria itu setengah marah membentak: “Mana tradisionalnya?” Rani mulanya kaget, apa yang dimaksudkan “tradisional” itu. Syukur, pria itu hanya marah, lalu keluar.

Belakangan banyak pria yang terus menggoda: “Dik, jangan lupa tradisionalnya, ya?” Atau kalimat ini: “Kalau pakai tradisional, tambah berapa?” Lama-lama Rani tahu, apa yang dimaksudkan: berbuat mesum. Ia punya jurus menolak, dan teknik penolakan itu yang membuat saya kagum, sekaligus sering ingat dia. Ia hanya mengatakan begini: “Bapak kan sudah berumur, mungkin bapak punya anak gadis seusia saya, kalau anak gadis bapak dibegitukan, apa bapak tega?” Teknik ini mempan, tapi Rani memutuskan tak lagi bekerja di panti pijat berembel tradisional itu.

Jurus ini sering saya kutip kalau saya lagi berceloteh soal moral di berbagai kesempatan. Malah saya kembangkan. Misalnya, bagaimana menghindari perselingkuhan? Saya katakan: “Ketika Anda sedang berniat untuk berselingkuh dengan wanita idaman lain, cobalah merenung satu menit, bagaimana kalau istri Anda juga melakukan hal yang sama dengan pria idaman lainnya. Apakah Anda senang?”

Jika jurus itu tak mempan, coba lagi merenung satu menit, dan sebut nama Tuhan. Tak satu pun agama membenarkan perselingkuhan dan perzinahan. Surga ada di telapak kaki ibu, dan ibu itu adalah wanita, janganlah wanita dilecehkan. Ada kitab suci yang jelas menyebutkan: “di mana wanita dihina dan diperlakukan tak semestinya, di sana kekacauan akan muncul”.

Jika nama Tuhan sudah disebut dan Anda tetap berselingkuh, itu artinya setan lebih banyak disekeliling Anda. Ini pun termasuk “skenario “ Tuhan, mereka yang lemah akan dijadikan alat untuk memberi kesempatan bagi orang lain bekerja dengan baik. Kalau penjahat tidak ada, polisi tak ada kerjaan. Kalau koruptor tak ada, Komisi Pemberantasan Korupsi tak dibentuk. Sekarang Anda memilih, yang baik atau yang buruk?

Saya tak menyindir bahwa kasus Rani-Nasrudin-Antasari diawali dengan pelecehan seorang wanita, karena “sinetron” ini masih berlanjut. Saya juga tak mau mengulangi petuah yang sudah klise agar pemimpin berhati-hati terhadap 3 TA: tahta, harta dan wanita. Saya hanya ingin mengatakan: wahai kaum pria, hormatilah wanita.

Sesekali menulis tentang moral, bolehlah. Suasananya masih merayakan Waisak, hari penuh kedamaian. Selamat bagi yang merayakannya.

(Koran Tempo 10 Mei 2009)

Tidak ada komentar:


Free Blog Content