Jumat, Mei 08, 2009

Yadnya Tak Harus Mahal

Upacara Pitra Yadnya atau ngaben atau pembakaran jenazah adalah pekerjaan mudah dan murah yang sering dipersulit sendiri, dan dimahal-mahalkan oleh penjual banten. Begitu seorang Pandita Mpu memberikan penataran di hadapan para pemangku. Lalu, beliau bercerita, bagaimana orang memper¬siapkan banten ngaben itu jauh-jauh hari. Pas ketika upacara, semua banten lumutan, janurnya kusut, kue dan sesajinya berjamur, semut merayap penuh di sana-sini. Baunya pun tak sedap lagi. Pandita Mpu pun melanjutkan ceramahnya: “Apa banten seperti itu kita haturkan kepada Tuhan untuk mengantar roh yang akan kita upacarai? Apa Tuhan tidak tersinggung diberikan banten yang sudah bengu (bau busuk)?”

Ini sebenarnya cerita lama, tetapi memang masih terjadi di pedesaan, apalagi kalau di pegunungan. Setiap melakukan dharmawacana ke luar Bali, saya pun sering ditanya soal ini, soal banten yang bau. Maklum, banten dikirim dari Bali, dipaketkan lewat kapal laut, jadi selain karena bau alamiah, juga kemasukan air laut. Jawaban saya adalah, saya tak tahu, apakah Tuhan tersinggung atau tidak. Saya belum pernah mendengar ungkapan Tuhan Maha Tersinggung. Tapi kalau hati kita sudah tidak enak meng¬haturkan banten yang “bengu” begitu, apalagi daging ayamnya sudah dipenuhi lalat, bisa jadi Tuhan memang ter-singgung. Bukan karena banten itu, tetapi karena kita sendiri sudah tidak sreg lagi, jadi Tuhan hanya mengikuti kondisi batin kita. Jelasnya saya katakan, “saya yang tersinggung kalau muput diberi banten bengu, karena itu kalau nanti saya sudah melinggih, jangan saya diminta muput jika bantennya bau. Saya mudah bersin.”

Umat Hindu di Bali, terutama di pedesaan yang tingkat pendidikannya rendah dan tidak banyak mendalami kitab-kitab agama, seringkali terjebak pada pola takut salah dalam mengha¬turkan banten. Takut tidak komplit, takut kurang ini atau kurang itu. Kalau salah, nanti Tuhan memberikan kutukan. Ida Bethara dan Bethara Kawitan juga memberikan kutukan atau setidak-tidaknya memberikan “sakit” sebagai sinyal dari adanya kesalahan itu. Istilah di pedesaan seperti “kepongor” atau “kepanesan” adalah suatu kepercayaan bahwa para leluhur kita — bahkan dalam tingkat tertinggi Hyang Widhi — menjatuhkan hukuman kepada umatnya karena melakukan tindakan yang salah atau kurang lengkap dalam melaksanakan upacara. Tuhan dan Bethara lebih sebagai penghukum, bukan sebagai Yang Maha Kasih, Yang Maha Pengampun.

Karena itu, supaya tidak salah, maka upacara ritual pun harus lengkap. Lengkap versi siapa? Lengkap menurut tradisi yang sudah turun-menurun, tanpa peduli lagi apakah tradisi itu benar atau sudah salah dari sononya. Karena itulah tidak sedikit orang yang menga¬dakan upacara ngaben sampai menjual harta warisan, agar pelaksanaan ritualnya disebut lengkap. Pokoknya demi upacara lengkap itu, pendidikan anaknya bisa dikorbankan, tanah produktif untuk kehidupan sehari-hari bisa digadaikan. Uang SPP anak dikorbankan karena harus membuat bebangkit. Padahal tanpa bebangkit pun yadnya bisa jalan.

Upacara Pitra Yadnya yang lengkap itu juga dikaitkan dengan kesenian, baik berupa bunyi-bunyian maupun pementasan tari. Ngaben tanpa bunyi angklung terasa begitu asing, kata orang.di kampung saya Tapi, kenapa tidak membunyikan gamelan angklung dari kaset lewat pengeras suara saja? Ini kan menghemat ratusan ribu.

Belum lagi tradisi gamelan gambang, yang konon satu-satunya gamelan yang bisa mengantarkan “pitara” ke sorga. Tanpa gamelan itu, tak ada jalan menuju sorga. Lalu lesung yang ditumbuk itu (ngeluntang), yang akan menyambut arwah-arwah yang akan diupacarai. Langkanya lesung penumbuk padi akan membuat kelabakan orang untuk mencari di mana ada lesung yang bisa disewa. Di sini saya selalu katakan, tradisi apapun yang ada di Bali selalu mengacu kepada tradisi agraris. Sekarang zaman global, padi tak perlu ditumbuk pakai lesung, ada mesin slip, kenapa ngaben tidak membunyikan mesin slip saja? Kan orang yang diaben belum tentu pula tahu lesung karena sudah hidup di zaman global.

Itu baru di tingkat bunyi-bunyian. Kemudian di tingkat pe¬mentasan, ada kepercayaan harus meminta tirtha dalang wayang kulit dengan lakon tertentu, yang ada kaitannya dengan sorga atau mencari air suci untuk mengantarkan roh ke surga. Lakon yang terkenal dalam kaitan ini adalah Biwa Swarga, Dewa Ruci dan berbagai variasinya yang tentu saja tak dikenal dalam ephos Mahabharata yang asli.

Pernah saya menanyakan kepada seorang dalang, kenapa ia mementaskan cerita yang aneh, yaitu Anoman ke sorga mencari tirtha. Bukan Bima sebagaimana lazimnya. Jawabannya enteng saja: “Saya tak biasa mendalang dengan lakon Mahabharata, saya spesialis Ramayana.” Pentas wayang kulit di Bali di masa lalu memang ada dua kubu: Mahabharata dan Ramayana yang dibedakan oleh gamelan pengiringnya. Nah ini kan lagi-lagi tradisi yang sudah ditinggalkan. Sekarang dalang Cenk-Blong (Wayan Nardayana), mau pentas Mahabharata atau Ramayana tetap saja pakai gamelan semar pegulingan. Tradisi tak harus dipertahankan, tetapi sastra agama harus dipertahankan.

Lalu, apa kaitannya pentas wayang kulit ini dengan upacara Pitra Yadnya? “Sebenarnya tak ada, karena tirtha dalang itu sendiri bisa diminta tanpa harus ada pementasan,” kata sang dalang. Ini benar sekali, bahkan tirtha dari Sang Dalang itu sendiri juga bukan keharusan. Kalau Pandita Mpu masih tergantung pada tirtha dalang untuk muput ngaben, wah, jangan mediksa dululah. Ini yang sering saya katakan.

Kesenian ini hanyalah embel-embel. Di Puri Gianyar kalau ada upacara pitra yadnya, biasanya dipentaskan tari gambuh, suatu hal yang tentu sulit untuk “ditiru” di daerah lain yang tidak mengenal tari klasik itu. Akhirnya kembali kepada masalah “perasaan batin” yang punya upacara, sejauh mana ia merasa sudah melak¬sanakan ritual itu secara lengkap. Kesenian itu sama saja akhirnya dengan banten, apakah kita puas dengan membuat yang sederhana kalau memang mampunya seperti itu? Atau kita memaksakan diri, padahal kita jelas tidak mampu?

Belakangan ini, dalam hal ritual di lingkungan keluarga, saya selalu mengatakan jangan menghambur-hamburkan yang tak perlu. Tetapi juga dipertimbangkan bagaimana kita bermasyarakat. Menyelenggarakan yadnya adalah juga menunjukkan cara kita bersosialisasi dengan masyarakat. Kalau dana ada, kenapa harus memutar kaset yang berisi kidung dan gamelan, kenapa tidak mengundang sekehe shanti. Kenapa tidak mengundang sekehe topeng, sekehe angklung, dan sebagainya. Jangan dengan alasan sederhana, kita melakukan yadnya dengan “sepi ing demit” (sepi karena pelit).

Ada kawan saya dari Kalimantan yang heran melihat yadnya yang tergolong “megah” ketika anak saya potong gigi. “Pak Putu tidak konsisten, selalu menganjurkan yadnya yang sederhana, kok sekarang mewah, ada topeng, ada gamelan gong, ada angklung, ada gender ada banyak penari, undangannya pun banyak.,” katanya. Jawaban saya: “Ini karena Hyang Widhi suweca dengan saya. Saya diizinkan punya gamelan gong, lalu disumbang aklung oleh banjar, topeng punya sendiri, penari anak-anak ashram. Kalau saya beryadnya dengan sepi-sepi, kapan saya bisa menjamu warga desa saya sendiri?”

Lagi pula, saat saya beryadnya itu, saya masih hidup dengan “gaya Jakarta” dengan sobat-sobat yang juga datang dari Jakarta. Menjamu 200-an warga desa biayanya sama dengan makan sepuluh orang di hotel berbintang. Nanggap wayang kulit di Bali jauh lebih murah dari mendatangkan seorang MC kalau membuat acara di Jakarta. Jika ukurannya di bawa ke sini, tak ada alasan untuk berpelit-pelit dengan dalih “upacara agama terlalu mahal”. Justru kita disebut kikir atau pelit, beryadnya sederhana tetapi tiap malam mabuk-mabukan di kafe. Tentu harus tetap mempertimbangkan situasi dan kondisi, jangan membuat yadnya yang mewah saat gagal panen kopi, misalnya,

Begitu sebaliknya, kalau kita hidup serba kekurangan, untuk makan sehari-hari saja masih berjuang keras, untuk apakah kemewahan ritual yang hanya meneruskan tradisi lama itu? Tingkatan yadnya bisa diturunkan, kesenian tak menjadi keharusan, ritual bisa dibuat dengan murah. Jika perlu, ya, gabung saja menyelenggarakan yadnya seperti yang dilakukan oleh Semeton di Sekretariat Pasek ini. Ritual jangan sampai memberatkan.***

3 komentar:

Wijaya mengatakan...

Ida Bhawati yang terhormat,

Saya sangat setuju dengan apa yang Ida Bhawati tulis, dalam hati saya sering sedih melihat semeton bali yang masih terjebak paham "semakin mewah yadnya, semakin baik" dan vice versa. Namun ketidaksetujuan ini tidak bisa saya ungkapkan dengan lantang karena status saya yang hanya umat biasa, bukan pemuka umat, hal ini menyebabkan pendapat saya sering dipandang sebelah mata, dan jika diungkapkan dikalangan masyarakat yang menganut paham diatas hanya akan mengundang cemoohan belaka. Saya harap akan semakin banyak tokoh hindu yang seperti Ida Bhawati, dan bisa mengarahkan umat untuk lepas dari dogma-dogma yang tak berdasar, menuju Hindu yang lebih Universal dan modern.

Suksma
Wijaya

Unknown mengatakan...

Saya setuju dengan Pak Putu Setia mengenai hal ini, semoga semakin banyak umat Hindu yang menyadari hal ini dan terbebas dari pola pikir yang terlalu dogmatis.

Anonim mengatakan...

pemikiran seperti ini yang saya harapkan dari tokoh hindu selama ini lebih universal dan modern tidak kolot dan dogmatis. Umat Hindu khususnya di Bali terlalu terbelenggu oleh tradisi yang saya anggap kada sangat berlebihan sehingga antara agama dan tradisi/adat menjadi dicampuradukan. Saya tidak heran dengan pemikiran Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda karena beliau lama hidup di luar Bali sehingga pemikiran beliau lebih terbuka dibanding pemuka-pemuka Hindu yang hanya lahir dan besar dan tinggal di Bali ataupun orang Bali yang hanya hidup di Bali (tentunya tidak semua). Menurut saya orang-orang Bali/Hindu keluar lah dari Bali lihat dan hidup lah dengan kondisi yang berbeda seperti yang selama ini anda liat dan rasakan di Bali, baru kemudian kem-Bali dengan pemikiran yang lebih universal untuk Bali dan Hindu.


Free Blog Content