Kalau tiba-tiba mendengar ada suara bergemuruh, cobalah segera menatap langit. Siapa tahu ada pesawat terbang yang oleng, lalu menabrak rumah Anda. Peringatan ini ditujukan kepada semua penduduk negeri tanpa kecuali, karena kecelakaan pesawat bisa terjadi di mana saja. Namun, warga yang diam di dekat pangkalan militer, tentu lebih waspada.
Terbakarnya pesawat Hercules di Magetan, pekan lalu, sungguh tragedi yang mengenaskan. Ini kecelakaan pesawat yang ke sekian dengan korban yang banyak. Korbannya tentara kita – lebih akrab disebut begitu dibandingkan Tentara Nasional Indonesia. Juga banyak warga sipil, keluarga tentara dan pemilik rumah yang dilabrak.
Dianalisa dari berbagai sudut, diinvestigasi dari berbagai faktor, tetap muncul sangkaan kuat penyebab jatuhnya pesawat karena usianya yang uzur, perawatannya yang minim, dan mungkin saja suku cadangnya “asli tapi palsu”. Kabut boleh dijadikan kambing hitam, tetapi banyak pesawat tentara kita yang memang sudah tua.
Apa pun hasil investigasinya, saya ikut berbela sungkawa kepada para korban. Hanya, saya menyesalkan ada wakil rakyat yang mendadak menjadi pahlawan, muncul di televisi yang meminta semua pejabat terkait mundur. Dari Kepala Staf TNI AU, Panglima TNI, Menteri Pertahanan dan yang tidak disebutkan, Presiden. Kata wakil rakyat itu, pejabat ini sudah tak punya rasa malu dengan berbagai kecelakaan pesawat yang menewaskan perwira-perwira terbaik tentara kita.
Kalau salah yang dicari, yang benar tidak akan didapat. Siapa yang mengkritisi anggaran pertahanan di DPR? Siapa yang dulu -- dan berulang kali dikatakan – bahwa anggaran pertahanan tak perlu mendapat prioritas? Sudah lama tentara kita tidak mendapatkan prioritas dari sisi anggaran. Di zaman global yang menghormati hak asasi manusia ini, kata sejumlah politisi, tak ada negara menyerang negara. Artinya, faktor ancaman dari luar nol koma kosong. Jadi, lebih baik membangun bendungan, pembangkit tenaga listrik, jalan tol, pabrik pupuk, dibandingkan membeli senjata termasuk pesawat militer. Di masa damai dan tenang ini, begitu diucapkan, membangun puskesmas dan memperbaiki nasib petani jauh lebih penting dari memikirkan tentara.
Akhirnya, Nusantara ribuan pulau ini punya anggaran pertahanan jauh di bawah Singapura, negeri satu pulau. Tentara kita mulai “tak dianggap”, baik oleh orang luar, juga oleh orang dalam. Dulu, perayaan Hari Angkatan Bersenjata 5 Oktober senantiasa ditunggu masyarakat karena akan ada akrobatik udara atau aksi memukau di lautan. Masyarakat bangga, anak-anak kecil pun memakai “baju tentara”. Kini, tak ada lagi. Perayaan 5 Oktober diisi perwira cakep dan cantik melakukan gerakan seragam dengan langkah tegap: satu, dua, satu, dua. Memang ada unjuk ketrampilan, tetapi itu sebatas tentara yang menebas balok es dengan tangan kosong. Kurang membanggakan. Bukan saja balok es lebih murah ketimbang pesawat tempur, ketrampilan itu jamak ada di dunia persilatan, bahkan di pesantren. Lihat di Pasar Senen Jakarta, atau di sepanjang Malioboro Yogyakarta, busana anak-anak dengan atribut militer sudah jauh berkurang dibandingkan dulu.
Saat ini, ketiga pasang calon presiden, semuanya ada unsur tentara. Ada dua mantan jenderal kesohor menjadi calon wakil presiden, ada satu mantan jenderal yang lebih kesohor lagi menjadi calon presiden.. Siapa pun yang terpilih, semestinya bisa berjuang kembali membangun tentara kita. Petani memang perlu disejahtrakan, tetapi tentara juga, karena petani dan tentara adalah juga manusia.
(Dari Koran Tempo Minggu 17 Mei 2009)
Kamis, Juni 04, 2009
Tentara Kita
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar