Sebuah karikatur di “tabloid istana” menyindir Wiranto dan Megawati sebagai kakek dan nenek. Imajinasi yang mau digiring adalah mereka itu sudah tua. Dalam bahasa anak muda, “Kalian sudah uzur, istirahat sajalah, jangan ngurus macam-macam.”
Pramono Anung, tokoh setia di samping Megawati, protes keras. Pengelola tabloid yang menyuarakan kubu Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono ini, cepat minta maaf. Jadi, tidak sampai menjadi bola salju yang bisa ditendang ke mana-mana.
Zaman sudah berubah. Di masa lalu, partai besar punya koran. Andaikata era ini semua partai besar punya koran (yang pasti tidak akan laku secara bisnis), Pramono tak perlu protes. Kubu Megawati akan membalas karikatur itu dengan menggambarkan Susilo Bambang Yudhoyono juga seorang kakek, bahkan mungkin dengan dramatisasi, kakek yang ragu berjalan sehingga langkahnya tersendat, kakek yang ber-poco-poco.
Untunglah ini tak terjadi dan orang sudah melupakan karikatur kakek dan nenek itu. Namun, yang tak boleh dilupakan, sejatinya semua tokoh itu sudah berstatus kakek dan nenek. Katakanlah dengan istilah keren, “kakek bangsa” dan “nenek bangsa”. Sederet nama bisa ditambahkan di jajaran ini, misalnya, Amien Rais, Abdurrahman Wahid, Hamzah Haz, dan banyak lagi.
Kalau mereka tidak mau istirahat, rakyat yang mengistirahatkannya dengan segala hormat. Pemilihan Kepala Daerah di Jawa Barat, menjadi contoh paling akhir. Kurang apa lagi pengalaman “kakek” kita yang satu ini, Agum Gumelar. Pernah menjadi Menteri dengan gonta-ganti pos, pernah memimpin organisasi sepakbola, olahraga yang paling memasyarakat. Pernah menjadi calon Wakil Presiden. Semua dicatat rakyat. Lalu, Kakek Agum didukung partai besar, partai banteng gemuk bermoncong putih. Tapi, rakyat membutuhkan orang muda yang “darahnya” segar, yang belum banyak dimasuki “virus”. Pilihan pada pasangan Ahmad Heryawan-Dede Jusuf.
Siapa Dede? Ah, hanya aktor film, bintang iklan obat sakit kepala. Siapa Agum? Wow, tentara pilihan, ketua alumni Lemhanas, mantan menteri ini dan menteri itu. Rano Karno, kini wakil bupati Tangerang, juga hanya aktor film. Rakyat memilih Dede dan Rano, pertama-tama karena ia anak muda, dan kedua karena rakyat mengharapkan muncul tokoh segar di dunia birokrasi.
Rakyat sekarang ini cerdasnya bukan main. Selain itu (maaf sekali para rakyat) juga licik. Dikatakan cerdas karena tahu, memilih bupati, gubernur dan presiden tak ada kaitan dengan memilih partai. Partai boleh mengusung siapa saja, kalau rakyat tak suka figur itu, ya, tak dicoblos. Licik? Tentu. Baju kaos calon gubernur diterima, uang kampanye diambil, bantuan diminta. Pas pencoblosan, semua barang dan uang itu dilupakan. Pada pemilihan Bupati Gianyar, Bali, tempo hari, saya terkesima dengan pilihan rakyat. Siapa menduga di kandang banteng, di tempat ribuan orang mengelukan Megawati saat kampanye, calon dari partai banteng malah kalah. Ya, karena rakyat butuh pemimpin yang segar.
Lalu, kenapa Rano dan Dede? Karena anak muda yang ada di jajaran partai (sebut misalnya Pramono Anung, Anas Urbaningrum, Soetrisno Bachir) masih dikeloni kakek dan nenek partai. Tokoh muda partai tak ada yang berani bilang “tidak” pada kakek dan neneknya. Lihat saja, simpati datang pada Muhaimin Iskandar justru saat ia berani melawan. Kalau anak-anak muda di partai tak bisa melepaskan belenggu ini, ya, apa boleh buat, dunia artis masih banyak stok, ada Tantowi Yahya, ada Garin Nugroho dan sederet lagi yang punya otak dan integritas. ***
(Tulisan ini diambil dari Koran Tempo)
2 komentar:
saya suka semua tulisan di kategori Cari Angin Koran Tempo. Terutama dialog dengan sang Istri. cerdas dan segar :D
om swastyastu...saya mencari buku menggugat bali...kok sukar nyarinya ya...di beberapa toko buku saya cari sudah tidak ada..mungkin ada yg bisa memberikan informasi????
Posting Komentar