Seorang mantan aktifis kampus mengeluh. Ia heran, begitu banyaknya partai politik, sampai kini, tak satu pun partai yang meminta dia untuk menjadi calon anggota legislatif. Padahal ia sudah mau dicalonkan di mana saja, apakah itu untuk kabupaten, di tingkat provinsi, apalagi di pusat. Dia bertanya: “Apa salah saya?”
Saya menjawab dengan serius, karena keluhannya memang serius. “Ada lima kesalahanmu,” kata saya.
Pertama, kamu lelaki. Coba kalau lahir perempuan, bisa mendapatkan tawaran. Partai-partai politik sedang mencari calon legislatif perempuan untuk memenuhi kouta 30 persen. Kalau kouta itu tak dipenuhi, daftar calon akan dikembalikan Komisi Pemilihan Umum. Begitulah enaknya perempuan Indonesia saat ini. Meski begitu, tetap saja sulit mencari perempuan yang mau dicadikan calon di daerah karena mereka tahu akan dikibuli. Hanya sebatas calon, hanya penggenap kuota, bukan untuk disiapkan menjadi wakil rakyat.
Kesalahan kedua, orangtuamu bukan pemilik partai. Puan Maharani, anak Megawati, langsung bisa jadi calon dengan nomor urut satu. Edi Baskoro, anak Susilo Bambang Yudhoyono, juga begitu. Pemimpin partai di daerah akhirnya mengikuti apa yang terjadi di pusat: anak, istri, mantu, besan dicalonkan. Apakah ini nepotisme tentu jawabannya sudah tersedia: mereka kader partai, hak setiap orang untuk dicalonkan jangan dihambat.
Kesalahan ketiga, kamu tidak mendeklarasikan dirimu alias tidak meminta, tapi menunggu tawaran. Ini bukan zamannya lagi. Kamu salah memahami ajaran Soeharto di masa lalu. Soeharto dan para tokoh di era itu selalu berkata tidak mengejar jabatan, tidak punya ambisi menjabat, jabatan adalah amanah dan seterusnya. Lalu ada kata penutup: “Kalau rakyat menghendaki, saya tak berani menolaknya”. Kenyataannya, suara rakyat direkayasa oleh para pembantunya, ah, ini cerita lama. Sekarang, siasat itu sudah jadi gombal. Yang laku saat ini adalah deklarasikan dirimu bahwa kamu mampu menjadi pemimpin alternatif dan sanggup mensejahtrakan masyarakat, meski pun sama gombalnya. Buat iklan di televisi, buat baliho, sebarkan pamflet, sebutkan hanya kamu yang bisa mengatasi keadaan yang terpuruk ini.
Cuma, kamu harus mencari orang yang pinter menyusun kata-kata slogan. Cari juga pemantau yang suka keluyuran ke daerah-daerah, tempat rakyat yang akan memberikan suara itu bermukim. Ini penting, karena rakyat sudah kritis, agar iklanmu tidak ditertawakan. Misalnya, iklanmu berbunyi: “Saya, Sutowo, Ketua Himpunan Peternak Bebek se Indonesia…” Apa memang kamu pernah memelihara bebek? Rakyat yang mengikuti kiprahmu, akan tertawa nyengir.
Juga, jangan membuat iklan terlalu puitis, rakyat bingung apa maunya, dan akhirnya mencari-cari kata yang akan dijadikan tertawaan. Misalnya, “kalau masyarakat mengizinkan, saya akan membawa harapan….” Kamu tahu kan, setiap iklan itu muncul, orang mengejek di depan layar kaca: “Memangnya siapa yang akan kasi izin?”
Hindari polemik soal usia. Megawati, Wiranto, Sutiyoso, Abdurahman Wahid, Amien Rais, Sultan, dan sederet tokoh lain, masih lebih muda dibandingkan ketika Ronald Reagan terpilih menjadi presiden Amerika. Lebih baik kamu sebutkan bahwa bapak dan ibu itu sudah diberi kesempatan oleh rakyat memimpin dan ternyata tidak berhasil. Kalau kamu lebih berani, sebut saja mereka gagal. Jadi memang perlu pemimpin alternatif.
“Wah, saya tak sejauh itu berpikir,” kata anak muda ini. Saya langsung memotong: “Itu kesalahanmu nomor empat: penakut. Dan nomor limanya bermodal dengkul.”
Sabtu, Agustus 23, 2008
Alternatif
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar