Di ruangan komputer sebuah sekolah menengah pertama, Ibu Guru menanyakan kepada anak didiknya: "Siapa di antara kalian yang senang mengirim e-mail menceritakan orang lain? Ayo, ngaku!"
Murid usia belasan tahun ini saling toleh sebelum sembilan orang mengacungkan tangan. Bu Guru menunjuk: "Ayo Putri, beri contoh e-mail-mu dan siapa yang kau kirimi e-mail itu." Putri tenang saja. "Bunyinya begini, Bu Guru: hai teman-teman, hati-hati dengan Baskoro, dia jahat, suka mencuri permenku. E-mail saya kirim ke sahabat kelompok dua, tujuh penerima."
Bu Guru lalu mengacungkan koran yang sejak tadi dipegangnya. "Anak-anak, menulis e-mail seperti itu sekarang berbahaya. Kalau Baskoro atau keluarganya mengadukan Putri ke polisi, Putri bisa dipenjara enam tahun dan membayar denda satu miliar. Undang-undangnya begitu, Putri mencemarkan nama baik orang lewat Internet, di koran ini ada beritanya," ujar Bu Guru. Anak didik yang sebelumnya ceria itu serentak melongo, Putri bahkan pucat mukanya.
Kisah di atas setengah fiksi. Yang fiksi dialog-dialognya, karena Luh Putri Devi, keponakan saya dari garis ibu, tak menceritakan dengan detail suasana itu. Setengahnya lagi benar, Ibu Guru di lab komputer sekolah favorit itu meminta anak didiknya berhati-hati menulis e-mail, sambil mengulas kasus Prita Mulyasari di Tangerang. Putri jadi trauma. "Sekarang takut banget deh, Paman, nggak mau lagi main Internet," katanya.
Prita, konon, juga trauma. Tak disangka, curahan hati kepada sepuluh temannya, perihal pengalaman ia dirawat di RS Omni Tangerang, akan berbuntut penjara. Bagaimana e-mail kepada sepuluh "teman pribadi" itu menyebar sampai dibaca pihak rumah sakit tentulah tak sulit dilacak. Bisa dengan teknik sederhana, misalnya, salah satu dari sepuluh orang ini meneruskan ke "teman lain", lalu tersebar ke mana-mana. Atau e-mail itu "bocor", sesuatu yang mudah terjadi di dunia maya Internet.
Prita tak membayangkan masuk penjara hanya karena menulis e-mail. Saya pun tak membayangkan juga karena, berdasarkan pengamatan saya di dunia Internet, "pencemaran nama" yang mirip itu setiap saat ada. Mailing list yang paling beradab, misalnya yang berlabel agama dengan menggunakan moderator sebagai penyaring, pun tak pernah lepas dari gosip yang menjurus pencemaran nama baik. Apalagi mailing list tanpa moderator, bahkan apalagi e-mail antarpribadi.
RS Omni sudah menggugat. Tapi lihatlah hasilnya. Tatkala Prita dipenjara, ada ratusan--jangan-jangan ribuan--posting yang mengecam rumah sakit itu dengan bahasa yang "jauh lebih mencemarkan". Bahkan muncul pemboikotan di cabang lain rumah sakit itu. Dukungan kepada Prita di Facebook mencapai ratusan ribu, setiap detik bertambah. Entah di blog dan mailing list--yang tak mungkin semua saya buka. Dunia maya, saat ini, menjadi kekuatan alternatif dalam membentuk opini publik. Kekuatan yang dahsyat.
Apa bisa kekuatan dahsyat itu diberangus oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008, terutama oleh Pasal 27 ayat 3 (delik pencemaran nama baik) dan Pasal 45 (denda Rp 1 miliar)? Berapa anggaran negara harus disediakan untuk membangun penjara yang menampung "pencemar nama baik" seperti Prita itu? Teramat konyol jika negeri ini sampai mendirikan Pengadilan Tindak Pidana Khusus Pencemaran Nama Baik di Internet.
Lagi pula, mana batas pencemaran nama itu? Apakah "Say No to Megawati" atau "Boediono Mbahnya Neolib"--yang gentayangan di Internet--termasuk pencemaran nama baik? Perlu dirumuskan apa kriteria pencemaran itu agar jelas apakah Prita dan Putri perlu dibui atau tidak.
(Koran Tempo Minggu 14 Juni 2009)
Jumat, Juli 03, 2009
Prita
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar