Di tengah riuh gemuruh kampanye calon presiden, di antara ribuan kata diumbar para tim sukses, banyak yang mencemaskan keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi. Lebih tepatnya, bukan keberadaan Komisi –disebut begitu saja supaya singkat— itu yang dipersoalkan, tetapi ada upaya yang membuat Komisi makin busuk. “Memangnya mangga yang bisa busuk?” kata hati saya.
Namun, saya ikut cemas kalau benar ada upaya yang sistematis untuk memperlemah kerja Komisi. Berbagai cobaan dihadapi Komisi. Ibarat pepatah, makin tinggi pohon makin keras mendapat terjangan angin. Dan “terjangan angin” itu saya rasakan ketika Wakil Ketua Komisi Chandra M. Hamzah diperiksa polisi selama tujuh jam dalam kasus penyadapan telepon seluler Rhani, cewek yang jadi saksi kunci pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen.
Diperiksa tujuh jam? Ini yang mencemaskan, lebih-lebih bagi mereka yang tak tahu lika-liku pemeriksaan oleh penyidik kepolisian. Banyak muncul pertanyaan di masyarakat, bagaimana tekniknya polisi memeriksa seorang “terperiksa” begitu lama? Apakah pertanyaan diajukan dengan begitu pelannya dan “terperiksa” menjawab dengan terbata-bata? Atau mungkin diselingi nonton tayangan gossip di televisi? Apalagi dalam kasus Chandra M. Hamzah ini pertanyaannya –semestinya- amat sederhana.
Dari sini muncullah kekhawatiran di masyarakat, sepertinya Chandra mau “dibidik”, jika tidak kenapa mesti berlama-lama diperiksa. Kalau Chandra sampai “kena bidik” dan kemudian menjadi “tersangka”, maka berkurang lagi pimpinan Komisi setelah Ketua Komisi (Antasari Azhar) dinyatakan nonaktif. “Di sinilah pembusukan itu,” kata seseorang, entah siapa.
Apa pentingnya dan siapa yang berkepentingan dengan “busuknya” Komisi? Oh, banyak. Para koruptor, baik yang sudah merasa akan diseret maupun yang masih gentayangan di tim sukses masing-masing calon presiden, berharap Komisi bukan saja “busuk” tetapi “lumpuh”. Ketika seorang anggota dewan yang terhormat berkoar-koar di televisi dalam kapasitas sebagai tim sukses calon presiden, seorang teman menelepon saya: “Lihat orang itu, dia kan disebut-sebut menerima cek saat memenangkan Miranda Gultom sebagai deputi gubernur Bank Indonesia, kapan ditangkap ya?”
Masih ada puluhan teman anggota dewan itu yang seharusnya sudah dipanggil Komisi – atau langsung diperiksa tujuh jam dan ditangkap – jika saja semua pihak mendorong Komisi untuk lebih semangat. Jadi, ini dugaan beberapa teman dan saya setuju, anggota Dewan banyak yang sebenarnya ingin agar Komisi lumpuh, bukan hanya busuk. Bukti lainnya, rancangan undang-undang Pengadilan Tipikor belum juga dibahas, padahal sebentar lagi anggota Dewan berganti.
Tapi, apakah kepolisian ingin juga Komisi itu “busuk”? Saya tak mau berkomentar, takut kena masalah dan nanti “diperiksa tujuh jam”. Saya hanya ingin mengatakan, memang asal-usul adanya Komisi itu adalah para penyidik – kepolisian dan kejaksaan—dianggap “kurang semangat” dalam memberantas korupsi di negeri ini, meski pun kedua penegak hukum ini punya wewenang menangkap koruptor dan sudah dijalankan. Kalau saja polisi dan jaksa bersemangat “maju tak gentar” memberantas korupsi tanpa melihat “ada bulu atau tidak”, tak akan ada Komisi, apalagi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Teorinya begitu, para hakim di Pengadilan Negeri sudah cukup menghukum koruptor.
Sayangnya, ketiga calon presiden, tak jelas betul apa sikapnya. Mereka bisa bilang, pemberantasan korupsi harus dilanjutkan lebih cepat lebih baik untuk tegaknya ekonomi kerakyatan, tapi mau diapakan KPK ini?
(Koran Tempo Minggu 28 Juni 2009)
Jumat, Juli 03, 2009
KPK
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
Om Swastyastu...
Indonesia... Indonesia...
memang kadang bingung lihat negara ini. Kira-kira apa ya resep yang ampuh untuk ngobati negara yg lagi "meradang" ini??
Atau mungkin pak Ida Bhawati berkenan menulis buku sambungan dari "Bali Meradang", dengan judul "Indonesia Meradang" ??
hehehehehe.... bisa jadi laris manis tuh??!!!
Om Santi..Santi..Santi..Om
Putu Kariyasa
Posting Komentar