Sabtu, Februari 14, 2009

Survei

Selamat Tahun Baru 2009, semoga di tahun ini kehidupan kita lebih baik dari tahun sebelumnya. Dalam upaya itulah, pada malam tahun baru, saya mendatangi seorang paranormal. Ini baru pertamakali saya lakukan. Saya menanyakan, apa yang harus saya kerjakan agar kehidupan lebih baik. Jawabannya: “Dirikan lembaga survei”.

Astaga! Ini dunia yang asing. Kepalang basah, saya segera kontak seorang teman di Jakarta yang banyak tahu dunia itu. “Paranormal itu betul sekali, sekarang lembaga survei sedang menjamur, maklum menjelang Pemilu,” katanya. “Saya bahkan sudah mendirikan dua bulan lalu, dan sudah melakukan survei mengenai calon presiden.”

Saya tercengang. “Boleh tahu apa hasil survei yang Anda lakukan?” tanya saya. Dia menjawab dengan semangat: “Jika Pemilu Presiden dilangsungkan hari ini, di urutan pertama ada nama Dhani Dewa, urutan kedua Ariel Peterpan, urutan ketiga Eko Patrio. Dua nama lain, suaranya kecil sekali.”

Saya terbahak-bahak. “Lo, kenapa tertawa? Ini survei serius,” katanya. Saya jawab, itu tak masuk akal. Bagaimana mungkin SBY dan Mega dikalahkan oleh Dhani Dewa dan Eko Patrio?

Menurut teman saya, calon presiden yang diajukan dalam survei itu lima orang, dua lainnya yang suaranya kecil adalah Jojon dan Tukul. Nama SBY, Megawati, Sultan atau tokoh lainnya, tak disebutkan. Responden harus memilih dari nama yang ada saja. Semua lembaga survei punya motode sendiri untuk mencapai tujuan yang tidak pernah dijelaskan secara transparan ke masyarakat. Targetnya menggiring opini.

Saya tambah bingung. Teman saya memberi contoh. Ada hasil survei yang menyebutkan kinerja pemerintahan SBY buruk. Namun, hasil survei yang sama, menyebutkan SBY tetap pilihan pertama untuk jabatan presiden. Logikanya dari mana? Karena pertanyaan pertama adalah: apakah Anda menilai kinerja pemerintah ini buruk atau baik? Lalu pertanyaan lain: siapa yang Anda jagokan sebagai presiden? Di situ, selain ada nama SBY ada nama-nama tokoh lawas yang didaur-ulang dari pemilu sebelumnya. Ya, logis SBY yang dipilih. Coba dampingi SBY dengan nama lain, tokoh lebih muda yang bersih, pasti hasilnya beda.

Saya tetap bingung. Teman saya menjelaskan, saat ini lembaga survei tak semuanya independen. Ada lembaga survei yang merangkap konsultan sebuah partai. Sudah pasti hasil surveinya akan menguntungkan partai itu. Dia bisa jadi alat kampanye, setidaknya menggiring opini publik untuk kepentingan kliennya. Dengan berkedok pada metode survei yang bisa berbeda, dia bisa menjelaskan kenapa hasil surveinya tak pernah mirip dengan hasil survei lembaga lain. Itu sebabnya, hasil survei berbagai lembaga, simpang siur. Yang satu bilang partai ini atau tokoh ini lebih populer, yang satu bilang, itu lebih populer. Tinggal kekuatan uang, siapa yang berani pasang iklan lebih besar untuk mempublikasikan hasil surveinya, itu yang memenangi opini publik.

Saya makin bingung. Teman saya mengatakan, seharusnya Komisi Pemilihan Umum memberikan akreditasi pada lembaga survei. Siapa orang di lembaga itu, punya keahlian melalukan survei apa tidak, modalnya dari mana, metode surveinya seperti apa. Kalau tak ada akreditasi itu, semua orang bisa mengumumkan hasil surveinya yang menguntungkan siapa yang memberi modal. Atau ada survei bohong-bohongan, kan tak jelas, harus bertanggungjawab ke mana?

Saya masih bingung. Ketimbang bingung terus, saya putuskan untuk hidup biasa-biasa saja, tak usah mengikuti saran paranormal mendirikan lembaga survei. Banyak bersyukur, kok rasanya lebih bahagia.

(Diambil dari Koran Tempo, 4 Januari 2009)

Tidak ada komentar:


Free Blog Content