Sabtu, Februari 14, 2009

Golput

Semakin dekat Pemilu semakin sering saya tertawa. Meskipun hanya di dalam hati, namun ketawa yang tak sampai bunyi itu konon merangsang otak untuk menyehatkan tubuh. Saya tak tahu kebenaran ini, tapi yang jelas suasana Pemilu benar-benar membuat saya terhibur.

Keluar rumah selangkah saja, sudah bertebaran baliho para calon legislatif. Wajah-wajah itu, membuat saya ngengir berkepanjangan. Ada yang bergaya orator ulung dengan latar belakang gambar Soekarno menuding. Ada yang seperti berteriak dengan latar foto Megawati yang mengacungkan tangan. Ada yang kalem, mirip terdakwa kasus korupsi, latar belakangnya gambar Sultan HB X yang juga kalem. Calon legislatif wanita seperti kontes Miss Universe, meski pun ada yang posenya seperti bakul jamu, tukang pijat, dan sebagainya.

Persaingan begitu ketat, calon wakil rakyat harus menjajakan wajah dan nomor urutnya lewat baliho dan (yang punya uang berlimpah) pasang iklan di koran. Pemilu sebelumnya lebih sederhana, partai yang menentukan siapa yang duduk atau tidak, pemilih pun mencoblos partai. Sekarang, setiap calon harus “unjuk gigi. Di pulau sekecil Bali saja ada 5079 calon legislatif yang bertarung memperebutkan 399 kursi. Kalau satu orang membuat sepuluh baliho maka ada 50 ribu lebih baliho. Ini angka terendah, karena seorang calon untuk wakil rakyat di pusat dan provinsi yang wilayah pemilihnya lebih luas, membutuhkan lebih dari 300-an baliho. Bayangkan berapa uang yang beredar dalam “bisnis baliho” ini, lalu bayangkan akan ada 4680 orang yang kalah dan mungkin punya utang.

Berapa milyar atau trilyun uang yang habis untuk baliho di seluruh Indonesia? Jika ini mau dihitung, saya bisa urung tersenyum. Saya lebih tertarik membaca slogan yang ada di baliho. Sebagian besar menyebutkan, akan berjuang untuk rakyat, dengan bahasa Indonesia yang rusak parah. Sebagian besar pula kurang percaya diri sehingga perlu menambah foto Soekarno, Megawati, Wiranto, Prabowo, Sultan HB X di latar belakangnya. Bahkan ada baliho dengan latar belakang Presiden AS, Obama. Slogannya: “Saatnya orang muda yang tampil”.

Karena bukan memilih partai, tetapi memilih orang, rasanya saya akan golput. Soalnya saya bingung. Dengan sistem Pemilu sekarang, domisili pemilih menyebabkan dorongan memilih itu berbeda. Kalau saya berdomisili di Klaten, misalnya, pilihannya gampang, antara Puan Maharani atau Hidayat Nurwahid. Bukan maksud saya memilih PDI Perjuangan atau memilih PKS, tetapi karena Puan cantik dan Hidayat Nurwahid saya kenal pemikirannya. Jadi, urusannya personal.

Saat ini saya berada di daerah pemilihan di mana calon-calon legislatifnya tak saya kenal ulahnya, selain fotonya yang nampang di baliho. Kalau saya mengikuti imbauan “memilih dengan cerdas dan tepat seraya menggunakan hati nurani”, maka pilihan saya adalah tetap tidak memilih alias golput. Ini menurut “hemat” saya, yang bisa berbeda menurut “hemat-hemat” orang lain.

Masalahnya, kenapa golput diharamkan oleh MUI? Kalau nurani saya berkata: itu calon koruptor, itu calon peselingkuh, itu calon wakil rakyat yang tak pernah sidang, itu calon yang hanya bisa omong, bukankah saya lebih baik menyelamatkan bangsa ini dengan cara tidak memilih mereka? Biar suara mereka tak memenuhi “bilangan pembagi pemilih”. Dengan ongkos yang tinggi berebut kursi di DPR atau DPRD, sudah pasti langkah pertama mereka di dewan adalah “bagaimana mengembalikan modal”. Untuk apa orang seperti itu diberi kursi? Dan akhirnya, untuk apa memilih kalau tak ada yang layak dipilih?
(Diambil dari Koran Tempo, 1 Februari 2009)

Tidak ada komentar:


Free Blog Content